Selasa 12 Mar 2024 15:42 WIB

Ramadhan: Kawung dan Kesejatian Diri

Ramadhan menjadi keberkahan untuk banyak orang.

Ilustrasi berzikir pada Ramadhan.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi berzikir pada Ramadhan.

OLEH: NANANG SUMANANG, Guru Sekolah Indonesia Davao Filipina

“Sepotong senja kemerahan yang kau berikan padaku. Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukkan itu. masih belum bisa kuterjemahkan dalam sebuah puisi….” 

Baca Juga

 

Asep Zamzam Noor

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sore ini, menjelang buka puasa di hari pertama Ramadhan, sambil menunggu waktu berbuka, pikiran ini melayang ke masa lalu, masa kecil, masa yang penuh kegembiraan ketika melaksanakan puasa Ramadhan.

Dulu, ketika libur puasa sebulan penuh, biasanya almarhum Apa (bapak) mengirim kami untuk berpuasa di kampung, sambil menemani kedua Mbah (nenek) kami, yang tinggal di dua desa bertetangga; desa Ciporang dan desa Kutaraja, di Kabupaten Kuningan. Di dua desa tersebut terdapat tajug (mushalla) kecil dekat rumah, yang biasanya digunakan untuk shalat berjamaah, terutama shalat maghrib, isya, shubuh dan tarawih apabila Ramadhan tiba. Di tajug-tajug itulah kami biasanya bermain bersama teman-teman, terkadang kami mandi di balong (kolam kecil yang airnya mengalir segar), yang biasanya digunakan untuk berwudlu dan mencuci, hingga siang hari. Biasanya kegiatan ini kali lakukan setelah pulang dari mencari kayu bakar di leuweung (hutan) di seberang sungai Cigede. Setelah puas bermain, kami akan tertidur hingga sore hari. 

Malam hari adalah malam kegembiraan yang tiada tara, karena setelah shalat tarawih, akan dihidangkan makanan kecil beraneka ragam yang sangat enak (wedang), yang dikirim dari rumah-rumah sekitar tajug. Kami, anak-anak kecil saat itu, selain menyantap makanan, juga akan mencuri kesempatan untuk meminum sisa-sisa kopi dan menghisap rokok daun kawung (aren) sisa dari orang-orang tua kami. Biasanya sambil minum sisa kopi dan menghisap puntung rokok daun kawung, kita akan menirukan gaya-gaya serta bicara orang tua di desa kita, menjadikan suasana semakin meriah, lucu dan menimbulkan kebahagiaan yang alami.

Ketika kami tidak pulang kampung, dan berpuasa di Jakarta, kegiatan kami kecil ya tetap bermain. Kadang kita mandi di kali malang, atau membuat pisau dari paku besar yang dilindaskan di rel kereta api di Pengadegan. Di sore hari, biasanya Emih (Ibu) akan menyiapkan buka puasa dengan sebaik-baiknya, walaupun sederhana, tetapi penuh dengan cinta kasih kepada kami. Sering untuk berbuka puasa, kami dibuatkan minuman ketimun suri, yang pada bulan-bulan lain sangat sulit ditemukan, dan juga buah kawung (kolang-kaling). Bukan itu saja, Emih juga akan membuat manisan kolang kaling yang disajikan pada hari lebaran.

Mungkin bagi orang Sunda, kawung (aren) itu sangat penting dan dekat dalam kehidupan sehari-hari. Saking pentingnya, walaupun sudah tinggal hampir 30 tahun di Filipina, setiap puasa saya akan memasukan menu es kelapa kolang-kaling dalam minuman pembuka puasa. Orang Filipina menyebut kolang-kaling dengan sebutan “kaong” Pohon kawung yang dalam bahasa latinnya disebut dengan Arenga Pinnata banyak ditemukan di negara-negara tropis, termasuk di Indonesia. Pohon yang termasuk keluarga pinang-pinangan ini banyak sekali manfaatnya, hampir sama dengan kelapa, semua bagian pohonnya bisa dimanfaatkan buat kehidupan manusia. Berbeda dengan kelapa dan sawit yang sudah dibudidayakan dengan baik, pohon kawung belum banyak yang membudidayakannya.

Kalau kata orang-orang tua Sunda dulu, katanya pohon kawung itu seumuran dengan pohon padi dan sangat penting bagi kehidupan manusia karena hanya pohon padi dan pohon kawung saja yang disematkan kepada Dewi Sri. Dalam mitologi orang Sunda, biasanya sebutan untuk padi adalah Nyai Sri Pohaci Sanghyang Sri Dangdayang Tresnawati, sementara penyematan pohon kawung kepada Dewi Sri disebutnya dengan sebutan Nyai Sri Pohaci Hideung Geulis.

Dari mulai akar, batang, pelepah batang, kembang, daun, hingga buahnya, pohon kawung semua bagiannya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Saking bermanfaatnya pohon kawung ini dilambangkan sebagai sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan manusia.

Orang Sunda mengenal istilah “Cukang Kawung” jembatan yang dibuat dari batang pohon kawung. Istilah “Cukang Kawung” bukan hanya jembatan secara fisik yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain, tetapi juga menjadi istilah yang digunakan oleh para leluhur orang Sunda yang mengatakan bahwa jembatan kawung adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan para leluhur kita dan masa depan kita.

Istilah “Cukang Kawung” mengingatkan kita, manusia, bahwa sesungguhnya untuk mencapai kesempurnaan manusia, maka manusia harus tahu asal-usulnya, dan selalu bermanfaat bagi alam semesta agar masa depan kita (akherat) yang merupakan hakekat kehidupan sebenarnya bisa digapai dengan baik. Dunia bukanlah kehidupan yang sesunggguhnya, dunia hanyalah jembatan bagi kita untuk menyebrang menuju kehidupan yang sejati. Bukankah al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa dunia ini hanya sekedar mainan dan senda gurau saja. (ad Dunya la’ibun wa lahwun) (Maman Damiri, Pustaka Sunda, 10 Maret 2024).

Istilah lainnya yang juga menggunakan kata kawung adalah “Masagi Kawung” Masagi secara bahasa berarti, kebermanfaatan, ketrampilan, kekuatan dan sebagainya. Bahwa manusia itu hidupnya harus harmonis, antara jagat kecil, alam semesta (jagat besar). Kepandaian, ketrampilan, dan kekuatan kita janganlah kita gunakan yang bisa mendatangkan terganggunya harmoni kehidupan alam dengan manusia, merusak alam lingkungan, membuat kecurangan dan ketidak-adilan hanya karena nafsu syahwat manusia yang tiada habis-habisnya.

Buah kawung yang biasa disebut dengan kolang-kaling ini mengingatkan kita akan makna puasa Ramadhan ini.  Puasa menjadikan manusia mempunyai jembatan yang bisa menghubungakn dirinya dengan asal-usul kemanusiaannya, sebagi khalifah di muka bumi ini. Puasa juga menjadi ajang manusia untuk melihat diri ke dalam lebih jauh lagi, mengoreksi diri sendiri, menghitung-hitung berapa amal dan kejahatan yang telah dilakukannya dengan didasari keimanan kepada Allah SWT (Imaanan wah tisaaban). Sebuah pekerjaan yang sangat berat yaitu mengoreksi diri sendiri agar bisa menjadi lebih baik lagi. Puasa yang berasal dari sanskerta yaitu tahapan menuju Sang Hyang Widi Wasa harus bisa menjadi jembatan manusia menuju kepada hakekat kemanusiaannya yaitu bertemu kepada Allah dengan membawa kebaikan. Mengenal diri dan menuju kepada hakekat kehidupan hanya bisa dijembatani dengan kebermanfaatan yang sebesar-besarnya kepada sesama manusia dan alam semesta.

Rasa lapar ketika berpuasa sebenarnya mengajarkan kita agar bisa berempati kepada sesama, terutama kepada orang-orang miskin dan termiskinkan. Rasa lapar inilah yang melahirkan cinta (loving) dan berbagi (sharing) yang merupakan esensi dari keharmonisan alam semesta ini. Tanpa adanya cinta dan berbagi, maka kehidupan yang harmonis adalah omong kosong belaka.

Esensinya, bahwa sesungguhnya manusia sudah memiliki nurani dan akal sehat, serta kitab suci yang bisa membimbing manusia agar dapat mengetahui asal-usul dan tujuan hidupnya nanti. Hidup harus selalu bermanfaat dan hidup harmonis dengan alam semesta. Tapi, terkadang kehidupan begitu melenakan kita, kebebasan informasi, kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan membutakan hati nurani kita dan akal sehat kita. Sering kali kita melihat Ramadhan dengan kegembiraan yang semu, atau ibadah-ibadah yang hanya sebatas menggugurkan kewajiban semata.

Hakikat puasa yang kehadirannya selalu diingatkan oleh makna pohon kawung seakan hanya sebuah ritual semata, yang digunakan hanya untuk mempertegas identitas sosial saja. Dalam situasi seperti ini, kemudian kita menjadi gamang, bimbang dan bahkan bisa tergelincir semakin menjauh dari hakikat puasa tersebut. Manusia memang tempatnya lalai dan lupa, tapi sebaik-baik manusia adalah manusia yang bangun dari kelalaian dan menjadi manusia yang bermanfaat kepada sesamanya.

Puisi di atas yang saya kutip dari penyair santri Tasikmalaya, Kang Asep Zamzam Noor ini, mengingatkan kita bahwa betapa susahnya untuk tetap membaca tanda-tanda jaman ini, apalagi membaca diri sendiri dan mengoreksinya, ternyata jauh lebih sulit dan melelahkan. Dia harus mempunyai niat yang besar dan juga keberanian, serta keistiqomahan. Semoga puasa tahun ini menjadikan diri kita lebih bisa mengerti asal-usul, keberadaan kita di dunia, dan tujuan dari kehidupan yang sesungguhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement