Selasa 13 Feb 2024 01:54 WIB

Prinsip 'Kagok Edan' Netanyahu Saat Dirinya Kini dalam Kondisi Terdesak

Netanyahu mengabaikan upaya gencatan senjata di Gaza dengan dalih kemenangan total.

Benjamin Netanyahu
Foto: AP Photo/Abir Sultan
Benjamin Netanyahu

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, jurnalis Republika

Pada Rabu (7/2/2024), Benjamin Netanyahu menggelar konferensi pers yang ditayangkan langsung oleh kanal-kanal televisi nasional Israel. Ia menolak proposal atau usulan terbaru dari Hamas demi tercapainya gencatan senjata di Gaza.

Usulan Hamas sebenarnya adalah tanggapan mereka terhadap proposal kerangka kerja Paris yang mencakup rencana tiga tahap gencatan senjata, yang tiap tahapnya berlangsung selama 45 hari. Pada tahap akhir, operasi militer di kedua belah pihak akan sepenuhnya dihentikan serta pertukaran seluruh tahanan dilakukan.

Atas proposal itu, Netanyahu malah berkoar 'kemenangan total' atas Hamas adalah satu-satunya solusi di Jalur Gaza.

"Hanya kemenangan total yang akan memungkinkan kita untuk memulihkan keamanan di Israel, baik di utara maupun di selatan,” kata Netanyahu.

Kemenangan total. Di Jalur Gaza, frasa itu menjadi terasa sekadar retorika ketimbang realisasi fakta. Setelah empat bulan membabi buta menggempur Gaza, yang dicapai oleh tentara okupasi IDF hanya hukuman kolektif bukan tercapainya tujuan memberantas militan Hamas.

Warga sipil Palestina yang terbunuh dilaporkan telah mencapai sekitar 25 ribu orang dan terus bertambah. Merujuk data PBB, 60 persen infrastruktur di Gaza sudah luluh lantak, 85 persen dari total populasi harus meninggalkan tempat tinggalnya di tengah krisis makanan, air bersih, dan obat-obatan.  

Di sisi lain, Hamas yang menjadi target utama IDF, sepertinya belum kehabisan stok konten aktivitas gerilya mereka menghancurkan satu persatu tank atau membunuh tentara IDF yang diunggah ke media sosial saban harinya.

Sehari sebelum keterangan pers Netanyahu, IDF mengumumkan satu lagi komandan perang mereka bernama Mayor David Shakuri, tewas dalam peperangan di Jalur Gaza. Kematian Shakuri menambah jumlah tentara Zionis yang tewas menjadi 563 orang sejak perang dengan Hamas pecah pada 7 Oktober 2023.

Jika di Gaza satu persatu prajurit dan reservis tewas, di dalam negeri, warga Israel semakin merasa tidak aman menyusul perang yang berkepanjangan. Warga yahudi antizionis mulai bergejolak, aksi demonstrasi mulai marak digelar di Tel Aviv.

Ekonomi Israel pun mulai goyang. Menurut Bank of Israel, perang di Gaza setidaknya akan memakan anggaran 50 miliar dolar dan menggerus pertumbuhan ekonomi 2 persen per tahun. 

Namun, Netanyahu memilih prinsip 'kagok edan' alias gila sekalian alih-alih menyetujui proposal gencatan senjata dari Hamas. Gugatan genosida Afrika Selatan yang persidangannya kini masih berjalan di Mahkamah Internasional pun seperti tak dianggap.

Namun, sialnya bagi Netanyahu, kini ia bersama kabinet perangnya tak sepenuhnya didukung baik oleh rakyatnya sendiri dan sekutu terdekatnya yakni Amerika Serikat (AS). AS tampaknya juga sudah jengah dengan kegilaan Israel di Gaza.

Pada Kamis (8/2/2024), Presiden AS Joe Biden menilai, respons militer Israel atas serangan 7 Oktober saat ini sudah 'malampaui batas'. Taklimat pers Biden itu cukup mengejutkan bisa keluar dari mulut Biden di mana untuk kali pertama ia mengkritisi agresi militer Israel setelah empat bulan berjalan. Kini, Biden berjanji akan berupaya keras agar gencatan senjata terjadi sehingga pertukaran tahanan bisa dilakukan.

"Banyak orang tak berdosa saat ini kelaparan, banyak orang tak bersalah kini sengsara dan itu harus dihentikan," tegas Biden. 

Bandingkan dengan pernyataan Biden pada awal-awal Israel melancarkan agresi ke Gaza, saat dia menggambarkan kematian anak-anak Palestina yang tak bersalah sebagai, "harga dari perang yang berkecamuk."

Adanya perubahan langgam bicara Biden tak lepas dari kondisinya yang saat ini secara politik ikut tertekan di dalam dan luar negeri. Biden bak ikut terkena getahnya dan semakin terseret dalam pusaran ego Netanyahu dan kabinet perangnya.

Akibatnya, beberapa bulan jelang Pilpres 2024 di AS, pamor Biden di kalangan pemilih Arab dan golongan kiri di negeri Paman Sam semakin melorot. Angka beberapa survei pun menunjukkan bahwa ia sedang tertinggal dari calon lawannya dari Partai Republik, Donald Trump.

Pernyataan resmi dari Kerajaan Arab Saudi pada 7 Februari juga bisa dibilang menjadi 'pukulan telak' bagi AS dalam kerangkan normalisasi hubungan Israel-Saudi. Kementerian Luar Negerinya, Saudi menegaskan bahwa tidak akan pernah ada normalisasi dengan Israel tanpa kemerdekaan bangsa Palestina. 

Retaknya kerangka normalisasi hubungan diplomatik Israel dan Saudi adalah ancaman bagi masa depan AS dalam konteks geopolitik di Timur Tengah. Apalagi, Saudi pada bulan lalu resmi bergabung dengan blok Rusia dan China cs alias BRICS. 

Kerajaan Saudi pun semakin berani memberikan peringatan kepada Netanyahu. Lewat pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Saudi, pada 10 Februari, pihak kerajaan mengutuk rencana serangan darat di Rafah, yang saat ini jadi satu-satunya zona aman para pengungsi Gaza. Kerajaan Saudi menolak upaya deportasi para pengungsi dan meminta gencatan senjata segera direalisasikan.

Namun apa pun prakondisinya sekarang, Netanyahu akan tetap bergeming. Gencatan senjata artinya ia harus menerima kekalahan dan harus rela lengser dari tampuk kekuasaan. Sementara di Gaza, warga sipil Palestina semakin sengsara akibat perang yang berkepanjangan.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement