Rabu 17 Jan 2024 11:40 WIB

Satu Episode Emas Persepakbolaan Indonesia

Pembangunan watak dan jiwa bangsa harus menjadi kunci utama suksesnya dunia olahraga.

Anak sulung Bung Karno, Guntur Soekarno Putra
Foto: Dok PDIP
Anak sulung Bung Karno, Guntur Soekarno Putra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntur Soekarno

Ketua Dewan Idiologi DPP PA GMNI / Pemerhati Sosial

Di dalam era reformasi ini, menurut penulis, dunia persepakbolaan Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Terbukti hampir di semua kejuaraan-kejuaraan tingkat domestik maupun dunia PSSI belum dapat membuktikan atau menunjukkan kualitas yang prima.

Kompetisi kelas dunia U20 menjadi ricuh dengan adanya penolakan dari beberapa Gubernur/Kepala Daerah akan hadirnya Israel dalam kompetisi. Mereka dikecam karena sudah mencampuradukan masalah olahraga dan politik yang sebenarnya harus terpisah. Belum lagi terjadinya tragedi Kanjuruhan yang menelan korban jiwa tidak sedikit, merupakan noda hitam dunia persepakbolaan bahkan dunia olahraga Indonesia.

Pertanyaan kita adalah mengapa di era tahun 50-an sampai dengan permulaan tahun 70-an dunia persepakbolaan Indonesia pernah mengalami masa keemasannya. Padahal, secara material kondisi Pemerintah dan Negara berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Contoh yang selalu terjadi adalah di Gunung Kidul bila musim kemarau tiba selalu saja terjadi busung lapar di sana.

Menurut hemat penulis, hal tersebut dapat terjadi karena pertama Presiden Soekarno kala itu sangat menentang pendirian bahwa politik harus terpisah dari olahraga, justru politik dan olahraga tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, indoktrinasi nation and character building harus diutamakan pelaksanaannya.

Pembangunan watak dan jiwa bangsa haruslah menjadi kunci utama suksesnya dunia olahraga khususnya persepakbolaan Indonesia. Setelah jiwanya kuat laksana baja, barulah latihan-latihan yang terencana baik serta konsisten harus dilaksanakan.

Kegiatan Dunia Sepak Bola di Era Presiden Sukarno

Di era tersebut, Jakarta mempunyai dua lapangan sepak bola yang cukup memenuhi persyaratan-persyaratan internasional yaitu Stadion IKADA dan Lapangan sepak bola Menteng Jakarta Pusat.

Termasuk “lapangan sepak bola” Istana Kepresidenan Jakarta yakni lapangan rumput yang terhampar di antara kedua istana yaitu Istana Merdeka dan Istana Negara. Saking sangat sederhana dan ala kadarnya tiang gawang pun tidak ada, namun yang terpenting adalah ada izin khusus dari Presiden untuk menggunakan lapangan tersebut.

Kesebelasannya pun hanya ada dua yakni kelompok senior yang terdiri para pelayan, tukang kebun serta tukang masak istana, yang usianya sekitar 30 sampai dengan 60 tahunan. Sedangkan yang Junior terdiri anak-anak mereka yang berusia 15 sampai dengan 20 tahun.

Dalam kesebelasan Junior, penulis bermain di posisi penjaga gawang. Anehnya kadang-kadang adikku Megawati turut bermain sebagai bek kiri, walaupun ia perempuan tidak canggung-canggung bermain dengan rekan-rekan yang lelaki.

Kalau musim pertandingan dimulai, biasanya hari Sabtu atau Minggu sore, tim Junior bermain terlebih dahulu kemudian disusul oleh tim senior. Bung Karno bila tidak sibuk duduk menonton dengan santai hanya menggunakan kaos oblong dan celana piyama, bahkan kadang-kadang menggunakan kain sarung di tangga, teras belakang Istana Merdeka.

Menonton Pertandingan-Pertandingan Resmi dengan Tim Luar Negeri

Seperti sudah dijelaskan di atas, maka untuk melatih kemampuan fisik dan mental para pemain sepakbola, Presiden menginstruksikan Kementerian Olahraga yang kala itu --bila penulis tidak salah ingat-- dijabat oleh Maladi seorang penjaga gawang untuk tim tuan rumah Solo saat pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) pasca kemerdekaan yang pertama tahun 1948. Kementerian juga diminta secara rutin mendatangkan kesebelasan kesebelasan luar negeri untuk bertanding di Indonesia baik melawan PSSI ataupun persatuan sepak bola lokal seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, PSM Makassar dan lain sebagainya

Seingat penulis tamu luar negeri yang datang pertama ke Jakarta adalah Team Aryan Ghimkana dari India. Di sini mereka berhadapan dengan Persija di bawah kapten penjaga gawang Gotfried Wilhelm Parengkuan. Persija ternyata kalah tipis dengan skor 2-1.

Pertandingan ini dihadiri juga oleh Presiden, Wakil Presiden dan beberapa menteri dengan ribuan penonton yang membludak sampai ke atap stadion. Tendangan penghormatan di ujung pertandingan dilakukan oleh Presiden Sukarno.

Dua bulan berikutnya datang kesebelasan terkuat di Uni Soviet Dynamo Moscow dengan penyerang tengahnya Bubukin yang mempunyai tendangan maut. Adapun penjaga gawangnya adalah penjaga gawang terbaik di Uni Soviet bernama Lev Yaschin.

Ketika itu Indonesia mengajukan PSSI untuk melawan Dynamo Moscow. PSSI saat itu diperkuat oleh antara lain; Ramang (penyerang tengah), Djamiat Dahlar, Kiat Sek, Tan Liong How, Sidhi dari Persebaya, Sian Liong, Witarsa dari Persib Bandung dan lain-lain.

Gawang PSSI ketika itu dibentengi oleh Parengkuan. Hasilnya, PSSI menjadi pecundang dengan kalah tanpa balas, kalau tidak salah ingat skor 4-0

Tiga bulan Kemudian datang lagi menantang kesebelasan Spartak Moscow yang pasukannya terdiri dari buruh-buruh pabrik di Uni Soviet. Pengurus PSSI memutuskan mereka harus berhadapan dengan kombinasi PSM Makassar dan Persebaya Surabaya. Kombinasi ini ternyata dapat bertahan dengan skor akhir sama kuat.

Ramang ternyata menjadi bintang lapangan dalam pertandingan ini. Presiden dan Wakil Presiden juga turut hadir dalam kesempatan ini. Ketika waktu jeda tiba, Bung Karno menyempatkan menghampiri Ramang di kamar ganti pakaian untuk memompa semangat juang petarung petarung hebat ini

Tim lain yang pernah bertanding di Indonesia selain yang penulis sebutkan di atas adalah antara lain kesebelasan nasional Burma, Korea Utara dan bila tidak keliru juga Filipina. Hasilnya rata-rata mereka menjadi pecundang.

Di tahun-tahun berikutnya tim yang membuat PSSI menggigit debu adalah Tim Nasional Yugoslavia. Terus terang mendengar komentar-komentar Bung Karno bila penulis tanyakan, Bung Karno belum merasa puas melihat prestasi dunia sepak bola Indonesia saat itu. Berkali-kali Menteri Maladi terkena semprot Presiden agar berusaha sekuat mungkin dunia sepak bola Indonesia dapat naik ke peringkat dunia.

Untuk itu Bung Karno langsung menemui sahabatnya Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito agar mengirimkan seorang pelatih untuk melatih pemain-pemain PSSI agar masuk standar internasional. Tito menyanggupi dan mengirimkan seorang pelatih andalan mereka untuk melatih pemain-pemain Indonesia, maka datanglah pelatih legendaris PSSI Toni Pogacknik.

Dengan cara latihan yang masif dan penuh disiplin juga gemblengan agar rasa percaya diri serta perasaan hero worship dibarengi Esprit de cor (solidaritas korps) yang kuat menyundul langit, akhirnya PSSI dapat masuk jajaran-jajaran kesebelasan Asia yang sangat diperhitungkan oleh dunia persepakbolaan dunia termasuk FIFA.

Sebagai bukti dari usaha keras tanpa lelah dari Presiden, Menteri Olahraga dan sudah barang tentu pelatih Toni Pogacknik yang bertahun-tahun harus menetap di Jakarta bersama seluruh keluarganya akhirnya membuahkan hasil yakni di pesta olahraga Olimpiade Australia tahun 1956. Pada pertandingan penyisihan PSSI berhasil menahan raksasa sepak bola dunia Uni Soviet dengan skor 0-0, walaupun pada pertandingan ulangan PSSI masih harus mengakui keunggulan Uni Soviet dengan kalah 4-0!

Walaupun demikian di era kala itu PSSI masuk kesebelasan di tingkat dunia yang terkuat untuk kawasan Asia Pasifik.

Melihat kepada kilas balik episode di atas untuk saat ini dapatkah dunia persepakbolaan Indonesia khususnya PSSI di bawah kepemimpinan menteri BUMN Erick Thohir dapat mengulangi lagi peranan PSSI di dunia sepak bola internasional layaknya seperti episode emas yang terpapar dalam artikel yang penulis tulis tanpa catatan apapun kecuali apa-apa yang ada di dalam ingatan penulis sejak usia muda hingga lansia seperti saat ini?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement