Ahad 14 Jan 2024 12:06 WIB

Kita Semua Afrika Selatan!

Afrika Selatan menohok tatanan dunia Barat.

Simpatisan Palestina berdemonstrasi bersamaan dengan sidang di Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai pengaduan genosida oleh Afrika Selatan terhadap Israel, di Den Haag, Belanda, Kamis (11/1/2024).
Foto: EPA-EFE/ROBIN UTRECHT
Simpatisan Palestina berdemonstrasi bersamaan dengan sidang di Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai pengaduan genosida oleh Afrika Selatan terhadap Israel, di Den Haag, Belanda, Kamis (11/1/2024).

Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

Sidang perdana dan kedua di Mahkamah Internasional sudah pungkas pekan lalu. Para pengacara dari Afrika Selatan telah memaparkan bukti-bukti mereka soal niatan genosida para pejabat Israel terhadap komunitas Palestina di Jalur Gaza, juga dampak langsung aksi tersebut yang sejauh ini membunuh lebih dari 23 ribu warga, melukai lebih dari 50 ribu, membuat kelaparan mayoritas warga Gaza, dan memindahkan secara paksa 1,9 juta orang.

Baca Juga

Demikian juga Israel telah menyampaikan pembelaan atas tindakan brutal mereka. Menimpakan kesalahan pada Hamas semata, menyinggung hak membela diri, dan membawa cerita lama soal bangsa yang tertindas. 

Yang menarik, di luar sidang, dunia terbelah. Negara-negara Global South alias yang pernah mengalami kolonialisme, sangat kentara condong dukungannya pada Afrika Selatan. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), negara-negara Arab, Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, kebanyakan mendukung gugatan yang diajukan Afrika Selatan.

Sementara Pemerintah Amerika Serikat sejak awal menolak gugatan Afrika Selatan dengan menyatakan hal itu tak ada gunanya. Pemerintah Inggris menyatakan gugatan Afrika Selatan tak berdasar, mengabaikan kengerian yang dikabarkan dari Gaza setiap hari sejak tiga bulan lalu. Kanada menekankan akan mendukung Mahkamah Internasional, tapi tak mau mendukung tudingan genosida terhadap Israel. Sementara Jerman mengancam akan mengintervensi persidangan tersebut untuk membela Israel.

Ironisnya, negara-negara penolak gugatan itu baru saja pada November 2023 lalu mendukung gugatan Gambia atas Myanmar terkait dugaan genosida terhadap etnis Rohingya. Negara-negara penolak itu juga mendukung gugatan Ukraina atas serangan Rusia yang dituding sebagai genosida. Baru enam pekan lalu, Inggris bersaksi di Mahkamah Internasional bahwa jika anak-anak terdampak, maka pembuktian atas terjadinya genosida bisa diturunkan standarnya. Namun untuk kasus di Gaza, agaknya buat Inggris sepuluh ribu anak-anak syahid belum cukup untuk “jadi landasan” dugaan terjadinya genosida.

Yang juga patut dicatat, seluruh negara yang menolak gugatan Afrika Selatan adalah negara-negara dengan dosa yang “berbau” genosida. Kolonial Inggris, tercatat dalam sejarah melakukan berbagai pembantaian di seluruh penjuru dunia sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20. Amerika Serikat juga nyaris menghabisi penduduk asli benua Amerika, memaksa mereka kini tinggal di noktah-noktah reservasi. Kanada juga terlibat upaya pemusnahan fisik, lahan, dan budaya suku-suku asli di wilayah negara itu. Tak usah ditanya kalau Jerman dosa genosidanya bagaimana. Bahkan kata “genosida” itu sendiri lahir menyusul pemusnahan besar-besaran etnis Yahudi di negara itu oleh rezim Nazi Jerman.

Apa haknya, kemudian kita bertanya, negara-negara itu menentukan mana yang genosida dan mana yang bukan? Afrika Selatan yang sekian lama hidup di bawah rezim rasis dan apartheid yang didukung negara-negara Barat tentu jauh lebih punya kredensi menunjukkan mana yang masuk kategori genosida dan mana yang bukan. Negara-negara selatan yang hidup ratusan tahun di bawah brutalnya penjajahan tentu lebih paham mana yang namanya genosida.

Dalam hal ini, yang digugat Afrika Selatan sedianya tak lagi semata persoalan Palestina. Yang dilakukan negaranya Nelson Mandela, seorang pembela Palestina yang teguh itu, adalah juga gugatan atas sistem internasional saat ini yang dibentuk seperti untuk menguntungkan para pemenang Perang Dunia II saja. Ia adalah juga simbol perlawanan terhadap tatanan dunia lama yang diatur sekena hati segelintir negara saja. 

Menengok bahwa Afrika Selatan adalah tuan rumah KTT BRICS yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo tahun lalu, momentumnya jadi pas. Saat itu, Presiden Jokowi bahkan membawa-bawa spirit Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 sebagai seruan bagi Global South untuk lebih lantang berbicara di kancah internasional. 

Afrika Selatan pada akhirnya dengan berani menyuarakan kegelisahan yang sejak lama dipendam negara-negara bekas jajahan. Menohok standar ganda negara-negara Barat tepat di jantungnya. Dan dalam konteks itu, untuk saat ini, sementara persidangan berlangsung, kita semua yang pernah terjajah adalah Afrika Selatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement