Jumat 12 Jan 2024 08:05 WIB

ASN, TNI, dan Polri Diminta Netral, Pejabat Negaranya Malah Gabung Timses

Standar etika dan moral pejabat negara harus lebih tinggi dari ASN.

Ketua KPU Hasyim Asyari menandatangani Deklarasi Kampanye Pemilu Damai 2024 di kompleks Kantor KPU, Jakarta, Senin (27/11/2023). Deklarasi yang dilakukan bersama tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden serta perwakilan pimpinan 18 partai politik peserta Pemilu 2024 tersebut bertujuan mewujudkan Pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoax, tanpa politisasi SARA, dan tanpa politik uang.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua KPU Hasyim Asyari menandatangani Deklarasi Kampanye Pemilu Damai 2024 di kompleks Kantor KPU, Jakarta, Senin (27/11/2023). Deklarasi yang dilakukan bersama tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden serta perwakilan pimpinan 18 partai politik peserta Pemilu 2024 tersebut bertujuan mewujudkan Pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoax, tanpa politisasi SARA, dan tanpa politik uang.

REPUBLIKA.CO.ID,

Ditulis oleh Wartawan Republika Eco Supriyadi

Deklarasi dukungan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menambah deretan pejabat negara yang menjadi tim sukses.

Keputusan itu pun menuai prokontra, mengingat Khofifah masih menjadi pejabat negara. Meskipun ia menyatakan akan cuti dari jabatannya. Namun, Khofifah bukan pejabat negara satu-satunya yang mengajukan cuti selama berkampanye.

Prabowo Subianto dan cawapres Mahfud Md juga cuti. Prabowo masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Sementara Mahfud Md memegang jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Itu belum termasuk ketua partai politik yang juga menjabat sebagai menteri, seperti Menko Perekonomian Airlangga Hartatanto, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, hingga Cawapres Muhaimin Iskandar yang kini menjabat wakil ketua DPR RI.

Puan Maharani pun aktif berkampanye meski statusnya masih ketua DPR, dan masih banyak lagi pejabat negara ataupun anggota DPR yang terlibat sebagai tim sukses.

Ini kondisi yang sebenarnya ironi. Sebab, Presiden Joko Widodo telah menekankan agar seluruh aparatur sipil negara (ASN) pemerintahan baik di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat pusat untuk menjaga netralitasnya pada Pemilu 2024. Bukan hanya untuk ASN, netralitas juga berlaku bagi aparat TNI-Polri.

“Perlu saya sampaikan bahwa pemerintah daerah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten pemerintah kota, pemerintah pusat semua harus netral. ASN semua harus netral. TNI semua harus netral. Polri semua harus netral,” kata Jokowi.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) pun melarang aparatur sipil negara (ASN) membuat ungghan, komen, share, like, bergabung/follow dalam grup/akun pemenangan untuk Pemilu 2024. Hal itu mencakup untuk calon presiden (capres) maupun calon dewan, gubernur, wali kota, dan bupati.

Jika ASN memberikan pandangan politik secara praktis atau langsung, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap sikap profesionalismenya. Sementara, posisi ASN adalah sebagai penyelenggara kebijakan publik. Untuk itu, UU ASN mengamanatkan mereka harus bebas dari pengaruh dan intervensi dari golongan atau partai politik.

Namun bagaimana mungkin pejabat teras meminta anak buah mereka untuk netral, sementara mereka sendiri menjadi tim sukses. Netralitas semestinya dicontoh dari atasan. Karena bagaimana pun juga, konflik kepentingan pejabat negara terhadap pilihan politik tidak akan bisa dipungkiri, jika mereka masih aktif sebagai tim sukses, meski statusnya cuti.

Apalagi, cuti yang diberikan bukanlah bebas tugas sampai pemilu atau pilpres selesai. Pejabat negara yang jadi timses atau kontestan pilpres hanya cuti untuk kampanye satu hari dalam sepekan. Sementara saat akhir pekan mereka bebas berkampanye. Sisanya, mereka masih menjabat seperti biasa.

Memang, dalam undang-undang ASN, pejabat negara bukanlah aparatur sipil negara. Namun, pejabat negara justru merupakan pimpinan tertinggi dari ASN. Artinya, standar etika dan moral mereka harus lebih tinggi dari ASN. Kalau ASN berpose dengan satu, dua atau tiga jari saja tidak boleh, maka pejabat negaranya pun seharusnya tidak boleh. 

Tapi ini kembali lagi pada soal etika berpolitik kita. Politisi kita memang memiliki standar etika yang rendah. Mereka tidak peduli masih menjabat sebagai pejabat negara, tapi keliling Indonesia untuk berkampanye. Ada menteri bikin kunjungan kerja, tapi tujuannya untuk mempromosikan capres tertentu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement