REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Analis intelijen, pertahanan, dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro menyatakan, di dalam dunia pertahanan keterbukaan data bukanlah hal tabu.
Dia mengatakan, transparansi bahkan dapat dijadikan suatu strategi untuk menimbulkan detterence effect atau daya gentar kepada lawan.
"Lawan akan berpikir dua kali jika mengetahui senjata apa yang kita miliki. Seperti negara-negara adidaya yang memiliki senjata nuklir, bahkan mengumumkan hulu ledak mereka,” kata pria yang kerap disapa Simon itu, Selasa (9/1/2024).
Sementara itu, dari sudut pandang masyarakat, kata Simon, transparansi data pertahanan akan menimbulkan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Hal itu pun dapat mencegah terjadinya korupsi.
Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, semua informasi publik dinyatakan terbuka dan dapat diakses. Informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas dan melalui mekanisme uji konsekuensi.
Penentuan informasi dikecualikan harus dilandasi analisis perlindungan kepentingan publik atau kepentingan nasional dan berdasarkan UU.
Menurut dia, di dalam negara demokrasi data pertahanan tidak bisa kemudian dinyatakan rahasia secara sembarangan sehingga publik tidak bisa mengakses.
"Ada data-data tertentu yang di dalamnya terkandung kepentingan publik yang besar, maka data tersebut harus disampaikan kepada masyarakat,” kata Simon.
Dia berpandangan, permintaan pembukaan data terkait capaian Minimum Essential Force (MEF), bukanlah hal yang berlebihan dan melanggar UU KIP. Termasuk, data anggaran dan alutsista yang kita miliki.
"Toh, lembaga-lembaga pemeringkat internasional bisa dengan mudah memperoleh data-data tersebut seperti dua lembaga pengindeks yang saya sebut di atas,” kata dia.
Halaman berikutnya...