Jumat 05 Jan 2024 13:07 WIB

Moderasi Beragama; Sudahkan Benar-Benar Adil dan Berimbang untuk Semua?

Moderasi beragama masih menyisakan pertanyaan.

Konferensi moderasi beragama Asia Afrika Amerika latin di Kota Bandung, belum lama ini.
Foto: Istimewa
Konferensi moderasi beragama Asia Afrika Amerika latin di Kota Bandung, belum lama ini.

 

Oleh: Harda Armayanto*

Baca Juga

Email: [email protected]

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tulisan ini bertujuan untuk mengajak para pemerhati Moderasi Beragama agar proyek ini benar-benar adil dan berimbang diterapkan kepada semua golongan, sehingga tercipta hubungan harmoni dan damai. Khususnya bagi kelompok agama ekstrem kanan (radikal) dan ekstrem kiri (liberal). Kedua kelompok ini memengaruhi ekskalasi hubungan internal maupun eksternal antarpemeluk agama. Oleh karenanya, memastikan Moderasi Beragama berjalan sesuai arah dan tujuannya adalah keniscayaan, sebab ia merupakan proyek prioritas nasional. Hal ini penting dilakukan, sebab, orientasi Moderasi Beragama tampaknya masih lebih cenderung menyasar dan diimplementasikan kepada kelompok ekstrem kanan (radikal), sementara kepada kelompok ekstrem kiri (liberal) tampaknya belum sedemikian disasar. Artinya, program deradikalisasi masih lebih diperhatikan daripada deliberalisasi. Padahal, keduanya harus memiliki porsi yang seimbang.

Hal itu penting sebab, sebagaimana diketahui, salah satu prinsip dasar Moderasi Beragama adalah selalu menjaga keseimbangan di antara dua hal. Inti Moderasi Beragama adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang bepasangan. Prinsip adil dimaknai tidak berat sebelah, berpihak pada kebenaran, atau menempatkan segalanya pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin. Sedangkan prinsip keseimbangan adalah cara pandang, sikap, dan komitmen untuk selalu berpihak pada keadilan, kemanusiaan, dan persamaan, atau selalu berada di tengah-tengah.

Problem yang Perlu Diperhatikan

Niat baik Pemerintah dengan menjadikan Moderasi Beragama sebagai program prioritas ini perlu diperhatikan seksama, sehingga proyek ini benar-benar bekerja sesuai prinsipnya, yaitu berdiri di tengah dan seimbang antara dua kubu ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Hal itu penting dilakukan, sebab, Moderasi Beragama masih menyisakan pertanyaan, diskusi, perdebatan, bahkan penolakan, baik pada sisi praktis penerapannya, maupun semenjak tataran konsep. Dari sini, ditemukan bahwa orientasi Moderasi Beragama dalam praktik dan implementasinya, tampak masih condong pada kelompok ekstrem kanan (radikal), sementara kepada kelompok kiri (sekuler, liberal, pluralis), belum demikian. Hal itu terlihat dari berbagai hal. Beberapa acara penguatan Moderasi Beragama di beragam tempat dan kesempatan, tampak lebih menekankan narasi lawan terorisme, fundamentalisme, puritanisme, dan isme-isme lain yang ditengarai sebagai ideologi kelompok ekstrem kanan. Sementara kontra sekulerisme, liberalisme, maupun pluralism, yang merupakan ideologi kaum ekstrem kiri, tak banyak disinggung.

Kemenag pernah mempromosikan Moderasi Beragama dengan Setara Institute. Keduanya bekerja sama menerbitkan karya berjudul Modul Training of Trainer untuk Auditor Promosi Toleransi dan Moderasi Beragama. Modul ini diharapkan menjadi bagian dari upaya penting dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme di madrasah yang berada di lingkungan Kementerian Agama. Padahal, Setara Institute secara jelas mendeklarasikan posisi mereka sebagai lembaga yang mempromosikan dan mengadvokasi pluralisme, serta mendukung kelompok LGBT yang ditolak oleh semua agama di Indonesia. Lain itu, dalam buku Jalan Menuju Moderasi Modul Penguatan Moderasi Beragama Bagi Guru, tertulis bahwa berkembangnya aktivitas keislaman (religius) di kampus-kampus negeri adalah fenomena ekstremisme yang menjadi penghambat Moderasi Beragama. Ditambah bahwa banyak guru dan dosen di Indonesia menganut ekstremisme sebab 49% dari mereka menyatakan tidak setuju jika pemerintah melindungi kelompok minoritas yang menyimpang dan 86.5% setuju pemerintah melarang keberadaan kelompok yang menyimpang. Artinya, sikap menjaga akidah Islam sebagai hak warga negara adalah sikap intoleran dan penghambat Moderasi Beragama menurut pandangan buku ini.

Kecurigaan dan sikap antipati para penolak Moderasi Beragama semakin bertambah ketika Buya Syakur diundang menjadi pembicara pada acara bertajuk “Moderasi Beragama Merajut Nasionalisme & Toleransi Beragama”, di Mabes Polri pada 1 Juni 2021. Penjelasan Syakur tentang Moderasi Beragama menjadi sorotan, sebab ia menyatakan Islam bukan agama yang sempurna. Kalimat tauhid (lā ilāha illallāh) bukan kunci dan tidak menjamin seseorang masuk surga. Yang menjamin masuk surga adalah mereka yang mendukung Nabi Muhammad saw. dalam membina persatuan. Demikian lanjutnya.

Hal serupa tampak dari penjelasan beberapa penulis di majalah bulanan Sejahtera yang diterbitkan oleh Subbag Informasi & Humas Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, yang mengangkat tema khusus terkait Moderasi Beragama. Farhani, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Tengah, menulis bahwa Moderasi Beragama mencoba membangun narasi penyeimbang dua arus ekstrem kanan dan kiri tanpa harus membuat tafsir kebenaran tunggal atau kebenaran absolut. Itu selaras dengan penjelasan Taslim Sahlan pada tulisan setelahnya. Sahlan menulis, bahwa kemajemukan bangsa Indonesia meniscayakan pluralisme sebagai sistem nilai dalam menerima kemajemukan itu. Namun demikian, pluralisme tidak dapat ditegakkan kecuali terlebih dahulu 1) mendekonstruksi absolutisme, 2) menegaskan relativisme, dan 3) membumikan toleransi. Dekonstruksi absolutisme berarti bahwa pluralisme menolak dan menghapus klaim kebenaran, sebab ia hanya akan membawa orang pada gagasan sempit, komunal, dan eksklusif. Sementara penegasan relativisme artinya penegasan akan banyaknya kebenaran yang merupakan bagian dari konteks ruang dan waktu. Tidak ada kebenaran absolut. Kebenaran harus selalu dicari dan didialogkan. Setiap kebenaran adalah proses pencarian dan setiap pencarian adalah kenisbian.

Stigma itu tambah menguat jika dikaitkan dengan sebuah buku karya Angel Rabasa dkk. berjudul Building Moderate Muslim Networks, diterbitkan oleh RAND Corporation, sebuah lembaga think tank yang memberi masukan kepada pemerintah Amerika Serikat terkait langkah-langkah dan kebijakan strategis negara tersebut. Rabasa dkk mendefinisikan Muslim moderat sebagai mereka yang menerima dan mendukung nilai-nilai demokrasi, seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan beragama, penghormatan terhadap keragaman, bersikap ramah terhadap feminis Muslim, terbuka terhadap pluralisme agama, penerimaan akan sumber hukum nonsektarian, penentangan terhadap hukum syariah (termasuk ketentuan 1:2 dalam hak waris laki-laki dan perempuan sebab memuat hal diskriminatif), dan penentangan terhadap terorisme maupun tindak kekerasan lainnya.

Apa yang disampaikan Syakur dan kalangan yang senantiasa mempromosikan Moderasi Beragama seolah menegaskan kekhawatiran para penolak proyek ini, bahwa ia mengandung paham liberalisme dan pluralisme agama yang mengandung relativisme kebenaran. Menyatakan Islam bukan agama yang sempurna, sama saja menempatkan agama ini sama dan setara dengan agama-agama lain. Dan itu adalah inti dasar pluralisme agama. Padahal, bagi umat Islam, kebenaran agama ini adalah absolut di tataran akidah.

Reorientasi Diperlukan

Contoh-contoh tersebut harus menjadi perhatian serius agar proyek Moderasi Beragama berhasil dan berjalan sesuai prinsipnya. Berdiri di tengah dengan adil dan berimbang antara dua kelompok ekstrem radikal dan liberal, adalah sebuah keniscayaan. Moderasi Beragama harus benar-benar menjadi “wasit” dan “penengah” yang mendamaikan pertentangan antara kedua kubu ekstrem itu. Kelompok ekstem kiri yang biasa menghalalkan praktik-praktik terlarang dalam ajaran agama, seperti pernikahan sejenis, pernikahan beda agama, murtad, haramnya khamar, dan lain sebagainya, sama berbahayanya dengan kelompok ekstrem kanan yang sering mengharamkan, membidahkan, atau bahkan mengafirkan kelompok lain yang berbeda. Kedua kelompok ini sama-sama menjadi ancaman hubungan antarumat, lebih jauh, menjadi ancaman integrasi bangsa. Maka, sepatutnya, Pemerintah (termasuk instruktur dan fasilitatornya) sebagai pemeran Moderasi Beragama, harus benar-benar adil memperlakukan keduanya, benar-benar menegakkan orientasi program ini, sehingga kedua kubu ekstrem itu dapat kembali ke tengah sebagaimana yang dicita-citakan. Program-program deliberalisasi mendapat porsi yang sama dengan deradikalisasi, sehingga Moderasi Beragama dapat dilaksanakan dan berjalan sesuai pada tempatnya, tidak berat sebelah, selalu berada di tengah-tengah, senantiasa berpihak pada kebenaran, keadilan, dan persamaan.

Tidak hanya itu, reorientasi ini akan berdampak pada penerimaan yang lebih luas. Para penolak proyek Moderasi Beragama yang menganggap bahwa proyek ini berat sebelah sebab hanya ditujukan kepada kelompok radikal, atau bermuatan liberalisasi agama, tentunya akan berpikir ulang dan bahkan mengubah pandangannya. Dari situ nantinya, proyek ini benar-benar dapat merangkul semua kalangan dan terlepas dari penolakan.

 

*Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) Universitas Darussalam Gontor

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement