Rabu 27 Dec 2023 01:59 WIB

Ketika KPU Mbalelo atas Putusan PTUN Jakarta

Pemerintah yang seyogyanya mentaati hukum.

Mantan Dekan Fakultas Universitas Andalas, Prof. Dr. Busyra Azheri, SH., Mhum.
Foto: istimewa/tangkapan layar
Mantan Dekan Fakultas Universitas Andalas, Prof. Dr. Busyra Azheri, SH., Mhum.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Prof. Dr. Busyra Azheri, SH., Mhum., Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Sekali lagi wajah penegakan hukum tercoreng oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berdasar pemberitaan media pada 19 Desember 2023 disebutkan KPU RI tak akan menjalankan putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan eks Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman terkait sengketa pencalonannya sebagai caleg DPD RI Pemilu 2024. 

Pernyataan ini disampaikan oleh Koordinator Divisi Hukum KPU RI, Mochamad Afifuddin menyatakan bahwa "demi konstitusi, putusan PTUN tersebut tidak dapat dilaksanakan (non-executable) karena bertentangan dengan konstitusi". 

Pasal 13 PERMA No. 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana ayat (5) menyatakan “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai dimaksud ayat (2) bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali. Kemudian ayat (6) menyatakan KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud ayat (2) paling lama 3 (tiga) hari sejak diucapkan. 

Merujuk ketentuan Pasal 13 ayat (5) dan (6) PERMA No. 5 Tahun 2027, tidak ada alasan bagi KPU menyatakan putusan PTUN Jakarta terkait gugatan Irman Gusman tidak dapat dilaksanakan (non-executable). 

Dalam putusan perkara Nomor 600/G/SPPU/2023/PTUN.JKT, Selasa (19/12/2023), PTUN Jakarta intinya menyatakan “batal/tidak sah Keputusan KPU RI Nomor 1563 Tahun 2023 tentang Daftar Calon Tetap Anggota DPD dalam Pemilu 2024 yang di dalamnya tidak terdapat nama Irman Gusman”. Kemudian PTUN Jakarta “memerintahkan KPU menerbitkan keputusan baru yang isinya menetapkan Irman Gusman sebagai calon tetap DPD RI pada dapil Sumatera Barat untuk Pemilu 2024”. 

Dari bunyi putusan PTUN Jakarta tersebut secara eksplisit dengan frasa “memerintahkan KPU menerbitkan keputusan baru yang menetapkan Irman Gusman sebagai calon tetap DPD RI dapil Sumatera Barat untuk Pemilu 2024”.  Kalau KPU menyatakan bahwa putusan PTUN Jakarta “non-executable” merupakan suatu kesalahan besar. Karena sifatnya Putusan PTUN Jakarta itu adalah “condemnatoir” yaitu bersifat penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang kalah. 

Dari putusan PTUN Jakarta itu jelas dan sangat ekplisit memerintahkan KPU untuk dimasukkan penggugat sebagai calon tetap DPD Sumatera Barat. 

Bila ditelisik lebih lanjut, argumentasi hukum yang dijadikan acuan oleh KPU adalah Putusan Mahkamah Agung (MA) pada September 2023 yang menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 membolehkan eks terpidana dengan pencabutan hak politik untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) tanpa perlu menunggu 5 tahun. Sanksi Adminitratif : Dinyatakan melanggar UU Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 12/PUUXXI/2023. 

Terlepas dari argumentasi hukum KPU tersebut, perlu dipahami bahwa putusan MK maupun MA terkait Judicial Review lebih pada prinsip utama yaitu “mengadili atau menguji norma”, sedang PTUN merupakan pengadilan yang “menguji terkait Keputusan tata negara (beschikking)”. Menurut Sjachran Basah mendefinisikan beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi negara yang mempunyai akibat hukum, untuk menyelenggarakan pemerintahan (dalam arti kata sempit). 

PTUN Jakarta sebagai bagian dari institusi terakhir yang memutus bagaimana norma yang diputus MK dan MA itu harus diterjemahkan terhadap suatu kasus kongkret dalam sengketa pencoretan nama Irman Gusman sebagai calon tetap DPD RI dapil Sumatera Barat. Oleh karena itu KPU sebagai penyelenggara pemilu harus tunduk pada putusan PTUN, karena PTUN adalah penafsir tunggal (the sole interpreter) dari norma perundang-undangan dalam menilai suatu keputusan. Jadi tidak ada alasan bagi KPU untuk tidak melaksanakan putusan PTUN Jakarta. 

Pertanyaannya adalah apakah ada sanksi hukum yang bisa menjerat KPU jika tidak melaksanakan putusan PTUN Jakarta ? Sudah banyak diskursus yang membahas terkait ketaatan atau kepatuhan aparatur/instansi pemerintah terkait eksekusi putusan PTUN, namun dari tahun ke tahun tetap saja ada aparatur/instansi yang tidak melaksanakan atau patuh pada putusan PTUN.

Sikap ini sangat tidak terpuji, karena telah mempertontonkan “arogansi” yang didasarkan atas kewenangannya. Kondisi ini akan berdampat pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur/instansi pemerintah dan sekaligus menjadi alasan masyarakat untuk tidak mentaati hukum. Pemerintah yang seyogyanya mentaati hukum, justru yang dipertontonkan sebaliknya, dimana pemerintah sendiri yang “mengangkangi” hukum itu sendiri. 

Secara regulasi, apabila aparatur tidak mentaati aturan atau putusan suatu pengadilan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) atau telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tentu ada sanksinya, baik secara adminitratif, perdata dan pidana. Sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa: Pertama ; Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. 

Jika putusan TUN tidak dipatuhi, maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234). Kedua ; Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut, tetapi juga menerbitkan KTUN baru. Ketiga; Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN tentang keputusan fiktif negatif. 

Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dijalankan juga, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi administratif dari atasan Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan pejabat yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa. Mekanisme lain yang disebut dalam Pasal 116 ayat (4) UU PTUN menegaskan adalah pengenaan uang paksa (dwangsom/astreinte). 

Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan Sanksi Perdata : Sanksi Pidana : pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan bahwa ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. 

Dengan tidak dilaksanakannya suatu putusan PTUN oleh pejabat/instansi pemerintah sebagai ujud perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang berimplikasi pada kerugian material dan moril bagi pihak yang gugatannya dikabulkan pengadilan maka pihak yang bersangkutan berhak mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait dengan ketidaktaatan pejabat/instansi melaksanakan suatu putusan PTUN itu sendiri. Yang perlu ditekankan dalam gugatan PMH ini adalah kerugian yang diderita akibat dari Keputusan TUN itu sendiri. 

Sanksi Pidana

Meskipun dalam UU PTUN tidak diatur mengenai sanksi pidana, bukan berarti pejabat/instansi penyelenggara negara yang tidak melaksanakan putusan PTUN tidak dapat dilaporkan melakukan tindak pidana. 

Merujuk pada Pasal 160 KUHP menegaskan “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” 

Merujuk Pasal 160 KUHP tersebut perlu dipahami substansi dari frasa “menghasut” adalah dalam konteks tidak mau melaksanakan suatu putusan PTUN yang bersifat final and binding yang melekat pada pemaknaan “perbuatan tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang”. Di sinilah letak tindak pidananya jika KPU tidak melaksanakan putusan PTUN. 

Sudah seyogyanya KPU memberikan contoh bagaimana lembaga negara mentaati suatu putusan peradilan, baik peradilan umum maupun PTUN sebagai wujud ketaatan pada konstitusi sebagai pengejawantahan negara hukum (rechtsstaat). Sebaliknya jika tidak dilaksanakan justru tindakan tersebut merupakan pelanggaran konstitusi itu sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement