Sabtu 09 Dec 2023 19:31 WIB

Penyair Gaza Syahid Dirudal Jet Tempur Israel, Warga Palestina Berkabung

Refaat Alareer terbunuh bersama beberapa anggota keluarganya di Gaza.

Rep: Amri Amrullah / Red: Friska Yolandha
Asap membubung usai serangan di Gaza.
Foto: EPA-EFE/ATEF SAFADI
Asap membubung usai serangan di Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Ucapan belasungkawa mengalir menyusul tewasnya penyair dan akademisi Palestina yang terkenal dan kontroversial, Refaat Alareer, dalam sebuah serangan Israel di Gaza. Dia terbunuh bersama beberapa anggota keluarganya oleh serangan udara di Kota Gaza pada hari Rabu (6/12/2023).

Alareer yang berusia 44 tahun adalah seorang profesor terkemuka di Universitas Islam Gaza dan salah satu pemimpin generasi muda yang jadi panutan penulis di daerah kantong tersebut. 

Baca Juga

"Hati saya hancur," kata penyair Gaza, Mosab Abu Toha, dalam sebuah unggahan di media sosial, Sabtu (9/12/2023).

Alareer juga ikut mendirikan proyek We Are Not Numbers, yang menyediakan lokakarya penulisan bagi kaum muda Palestina di Gaza. Dalam sebuah wawancara dengan Aljazirah, salah satu pendirinya, Pam Bailey, mengatakan bahwa ia merasa sangat kehilangan.

"Banyak orang tahu tentang Refaat, melalui buku-bukunya, melalui puisinya. Itulah mengapa Anda mendengar tentang dia hari ini karena begitu banyak orang yang mencintainya," ujarnya, menceritakan bagaimana dia telah memanusiakan perjuangan orang-orang di Gaza.

Namun, Alareer juga memicu kontroversi dalam beberapa minggu terakhir, dengan membandingkan serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober dengan Pemberontakan Ghetto Warsawa.

Sejak tentara Israel memulai pengeboman tanpa henti di Jalur Gaza, Alareer tetap tinggal di kota asalnya, Shujayea, di utara Gaza, yang sebelumnya ia gambarkan sebagai "lambang kebangkitan Palestina yang menolak untuk bertekuk lutut pada kebiadaban Israel".

Dia secara teratur memposting berita terbaru dari wilayah tersebut yang menggambarkan bagaimana penembakan berat menghancurkan rumah-rumah, bisnis, dan kehidupan warga Palestina di Gaza Utara.

"Tak terkatakan, kebrutalannya," kata Alareer dalam sebuah wawancara di podcast The Electronic Intifada, saat suara ledakan keras terdengar di latar belakang.

"Tidak peduli berapa banyak tweet atau siaran langsung yang Anda lihat, kenyataan di lapangan jauh lebih mengerikan daripada yang ada di media sosial... Kami tidak pantas menerima ini. Kami bukan binatang seperti yang dipikirkan orang Israel. Anak-anak kami berhak mendapatkan yang lebih baik," katanya.

Beberapa pekan sebelum syahid, Alareer mengatakan....

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement