Kamis 30 Nov 2023 15:38 WIB

Kekerasan Berbasis Gender di Yogyakarta Didominasi Kekerasan Fisik

Hingga September 2023 telah terjadi kekerasan terhadap perempuan sebanyak 165 kasus.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
Aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak  (ilustrasi)
Foto: Antara/Rahmad
Aksi teatrikal kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta menyebut kasus kekerasan gender masih banyak terjadi. Termasuk kekerasan terhadap anak yang masih menjadi perhatian di Kota Yogyakarta.

Plt Kepala DP3AP2KB Kota Yogyakarta, Sarmin mengatakan, hingga September 2023 telah terjadi kekerasan terhadap perempuan sebanyak 165 kasus. Sedangkan, kekerasan pada laki-laki tercatat sebanyak 31 kasus.

Ia menyebut, angka tersebut masih memprihatinkan. Sebab, katanya, dari ratusan kasus kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan terhadap istri dengan bentuk kekerasan fisik.

Untuk itu, ia menegaskan perlunya perlindungan terhadap perempuan dan anak. Begitu pun dengan penanganan kekerasan, di mana diharapkan tidak hanya ditangani oleh pemerintah, tapi hingga melibatkan wilayah.

Hal ini, kata Sarmin, sesuai dengan Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 135 Tahun 2020 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Wali Kota kepada Mantri Pamong Praja untuk melimpahkan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Selain itu, untuk menurunkan angka kekerasan perempuan dan anak di Kota Yogyakarta, juga dikampanyekan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau 16 Days of Activism Against Gender Violence.

Menurutnya, aksi ini merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

"Kampanye mulai dari  25 November hingga 10 Desember 2023, sekaligus sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional," kata Sarmin, Rabu (29/11/2023).

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemkot Yogyakarta, Yunianto Dwi Sutono, berharap tidak hanya kekerasan yang diharapkan mengalami penurunan. Namun, diharapkan sikap dan tindakan diskriminatif kepada perempuan harus turut diperhatikan.

Ia berharap seluruh pihak turut mendukung upaya menyetop budaya kekerasan. Dengan begitu, diharapkan dapat menciptakan ruang aman bagi perempuan dan seluruh kelompok rentan, baik di lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan sosial.

Ditegaskan, jika terjadi kasus kekerasan, segera melapor. Pelaporan dapat dilakukan melalui aplikasi SIKAP dalam Jogja Smart Service (JSS). "Pelaporan agar mendapatkan perlindungan dan penanganan yang tepat," katanya.

Sementara itu, kekerasan khususnya terhadap perempuan dan anak tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta. Di wilayah lainnya di DIY, kasus kekerasan ini juga masih memprihatinkan, seperti di Kabupaten Sleman.  

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sleman menyebut kasus kekerasan yang terhadap perempuan dan anak masih cukup tinggi.

Peningkatan ini terlihat sejak pada 2020 yang angkanya terus di atas 300 kasus setiap tahunnya. Kepala Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana DP3AP2KB Sleman, Dwi Wiharyanti, mengatakan, pada 2020 tercatat ada 418 kasus kekerasan pada perempuan dan anak.

Pada 2021, pihaknya mencatat 360 kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Sedangkan, pada 2022 kasus kekerasan di Sleman ini mencapai 412 kasus.

Pada 2023 hingga Oktober, sudah tercatat 340 kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Sleman. "Sampai Oktober 2023, kekerasan pada perempuan di Sleman yang dilaporkan ada 168 kasus, sedangkan kekerasan pada anak dilaporkan 172 kasus," kata Wiharyanti kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Seluruh angka itu merupakan kasus yang dilaporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) DP3AP2KB Sleman. Dimungkinkan, kasus-kasus kekerasan pada perempuan dan anak ini masih di atas angka tersebut, mengingat tidak semua kasus yang terlaporkan.

"Kalau kekerasan di Sleman yang lapor ke UPTD PPA tentang perlindungan perempuan dan anak memang terus bertambah. Mungkin karena dulu belum ada UPTD jadi malah tidak terdeteksi, jadi kalau naik atau tidaknya belum ada signifikansi karena mungkin kemarin itu belum pada lapor. Sekarang karena sudah ada UPTD PPA, banyak dilaporkan kekerasan terhadap perempuan dan anak," ujarnya.

Sebagian besar kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang dilaporkan, yakni yang terjadi di lingkungan terdekat. Dalam artian, banyak terjadi di lingkungan keluarga. "Yang terlapor ya yang seperti itu (terjadi di lingkungan keluarga)," katanya.

Meski demikian, bukan berarti kekerasan terhadap perempuan dan anak ini juga tidak terjadi di luar lingkungan keluarga. Wiharyanti menuturkan, ada beberapa kasus kekerasan yang dilaporkan juga terjadi di luar lingkungan keluarga, meski laporannya tidak sebanyak yang terjadi di dalam keluarga.

"Ada juga pekerja di suatu tempat sama bosnya dijual, itu yang diluar keluarga, sudah ke arah prostitusi," kata Wiharyanti. Ia menegaskan kekerasan terhadap perempuan ini harus menjadi perhatian bersama untuk ditekan.

Hal ini mengingat kasus kekerasan terhadap kelompok rentan ini masih banyak terjadi di DIY, khususnya di Sleman. "Artinya anak di lingkungan keluarga itu harusnya aman, tetapi ternyata tidak aman juga. Ini harus kita atasi bersama," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement