Sabtu 18 Nov 2023 07:07 WIB

Dokter Mueen dan Cita-Citanya untuk Gaza

Dia syahid bersama ayah dan kakak-kakaknya setelah rumahnya dibom penjajah.

RS Kamal Adwan, tempat dr Mueen Al Shurafa bertugas
Foto: Ist
RS Kamal Adwan, tempat dr Mueen Al Shurafa bertugas

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Wartawan Republika, Achmad Syalaby Ichsan

Saya mengenal dokter Mueen Al Shurafa pada 2018 lalu di sebuah hotel di Kota Solo. Mueen berperawakan besar. Saat awal bersua, dia hanya bicara seperlunya. 

Saya pun mengira dia sulit untuk diajak wawancara. Ternyata, Mueen sosok yang jauh lebih ramah ketimbang apa yang saya perkirakan. Dia pun mengisahkan banyak hal tentang cita-citanya merantau dari Gaza ke Indonesia.

Mueen ke Indonesia pada 2010. Setelah perang, relawan-relawan Bulan Sabit Merah Indonesia masuk ke daerah yang diblokade tersebut. BSMI mencari dokter-dokter terbaik Gaza untuk disekolahkan menjadi dokter spesialis di Indonesia. Mueen pun masuk dalam daftar 60 dari 200 dokter yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza setelah menjadi salah satu lulusan terbaik. 

Mueen kemudian terbang ke Jakarta. Tanpa buang waktu lagi, Mueen belajar bahasa dan menjalani praktik di RS Dr Sardjito, Yogyakarta. Masing-masing selama satu tahun. 

Dia kemudian mengikuti ujian PPDS di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mueen gagal karena faktor bahasa. Dia kemudian menempuh alternatif untuk pendidikan master di salah satu kampus negeri. Setahun berselang, Mueen berhasil lulus S2. 

Hanya saja, Mueen belum puas. Dia masih ingin mengejar cita-citanya untuk menjadi dokter spesialis. Mueen sempat bercerita kepada saya jika di Gaza kekurangan dokter spesialis. Padahal, Gaza amat rentan diserang oleh penjajah Israel. Waktu itu, dia mengatakan, Gaza hanya memiliki 200 dokter spesialis dengan 2,2 juta penduduk. 

Mueen kemudian Hijrah ke Solo. Atas rekomendasi beberapa dokter relawan, dia berhasil masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Solo. Mueen menjalani  pendidikan dokter spesialis anastesi hingga empat tahun. Mueen yang sebelumnya praktik di Rumah Sakit Al-Shifa mengatakan, tidak mudah menyelesaikan studi PPDS di Indonesia.

Dia bercerita jika dia harus tiba di rumah sakit jam enam pagi dan baru pulang jam delapan malam. Dua hari sekali dia harus bergulat di ruang operasi. Tahun pertama, Mueen benar-benar merasa kesulitan. Dia bahkan sempat berujar untuk mundur dari program tersebut. 

Hanya saja, dia mendapatkan nasihat jika ada sejumlah biaya yang harus diganti jika memutuskan untuk mundur. Alhasil, Mueen mengurungkan niatnya. Saya ingat betul perkataan dia saat bercerita soal keputusan besarnya tersebut. “Kalau itu mau, putus program dan balik lagi. Tapi, orangnya bayar ini. Haram! Uangnya bukan uang kecil karena PPDS mahal,” seloroh dia. 

Singkat cerita, Mueen berhasil menyelesaikan pendidikannya di PPDS dan menjadi dokter anastesi pada 2018. Saya sempat mengantarnya untuk terbang dari Bandara Adi Soemarmo di Solo. Saat itu, saya melihat betapa berat Mueen, istri dan delapan anaknya untuk kembali ke Gaza. 

Salah satu anak perempuannya yang sudah bersekolah dan memiliki teman di Solo bahkan sempat tidak mau ikut pulang. Dia sudah hidup nyaman tanpa dentuman bom dan rentetan senjata. “Alhamdulillah target saya memang balik lagi. Bukan target saya untuk hidup lebih bagus. Saya merasa bangsa Palestina minta dokter bantu di sana,” kata dia.

Padahal, Mueen sudah jatuh cinta dengan Indonesia. Bukan hanya karena dia sudah punya makanan favorit nasi padang, tetapi dia merasa banyak orang tulus yang membantunya selama menjalani pendidikan kedokteran. Bahkan, Mueen berseloroh suatu saat ingin menjadi warga negara Indonesia. Dia mengaku sudah pernah ditawari kewarganegaraan Amerika Serikat, Arab Saudi hingga Australia tetapi ditolaknya. 

Di Gaza, Mueen punya cita-cita untuk membuka pendidikan dokter spesialis. Dia sadar memang sulit karena minimal ada 20 orang dokter spesialis untuk merealisasikan pendidikan tersebut. Bahkan, jika ingin mengikuti standar di Indonesia, maka setiap tiga peserta PPDS harus ada satu dosen.

Oktober 2023, perang di Jalur Gaza kembali meletus. Israel memborbardir kawasan padat penduduk itu setelah pejuang Hamas berhasil melakukan serangan mendadak pada 7 Oktober yang membuat sekitar 1.200 warga Israel kehilangan nyawa. Para pejuang juga membawa lebih dari 200 sandera ke Gaza. 

Saat itu, Mueen praktik di Rumah Sakit Kamal Adwan yang beroperasi di Gaza Utara. Dokter Mueen berkisah dia bahkan menangani sepuluh pasien dalam satu menit. Dalam ceritanya kepada pengurus BSMI lewat sambungan telepon, korban bom fosfor yang berdatangan ke rumah sakit harus segera dioperasi. 

Dia pun melakukan pembiusan dengan dosis yang minimalis. Jika seharusnya 200 miligram maka menjadi 50 miligram. Penghematan. Sementara, mereka yang menderita luka bakar 80 persen sebagian dirujuk ke RS Al Shifa.

Beberapa pekan mengurus pasien di rumah sakit membuat dokter Mueen rindu keluarga. Dia pulang sejenak ke kediaman keluarga besarnya di Gaza City. Sementara, istri dan anak-anaknya masih berada di Rafah untuk mengungsi. 

Di rumah keluarganya, Mueen ternyata menghembuskan nafas terakhirnya. Dia syahid bersama ayah dan kakak-kakaknya setelah rumahnya dibom penjajah. Kabar yang membuat kami berduka. 

Gugurnya Mueen pun viral di Indonesia. Masyarakat terkejut karena ada dokter spesialis hasil didikan negeri ini yang ikut berjuang di tanah jihad Palestina. 

Selain Mueen, ada beberapa dokter didikan Indonesia lainnya yang masih berjuang di Gaza. Mereka masih bergelut di dalam rumah sakit dengan ribuan pasien, tanpa listrik, air dan harus menahan lapar. Lewat mereka, kita menitipkan secuil kontribusi untuk melawan penjajah lewat jalan kemanusiaan. Doa kita untuk mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement