Kamis 02 Nov 2023 17:45 WIB

Emisi Kehutanan Ditargetkan Minus 140 Juta Ton Karbon di 2030

Sektor kehutanan akan menajdi penyeimbang bagi sektor yang lain terkait emisi karbon.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sektor kehutanan berkontribusi paling banyak terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.
Foto: pixabay
Sektor kehutanan berkontribusi paling banyak terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sektor kehutanan dan lahan (Forest and Other Land Uses/FOLU) diyakini menjadi kontributor utama dalam pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Di tahun 2030, sektor ini ditargetkan bisa mencapai FOLU Exit atau kondisi Nol Bersih, serta mencapai minus 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

“Artinya, sektor kehutanan akan menjadi penyeimbang bagi sektor lain yang masih akan mengeluarkan emisi di tahun 2030,” kata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanti, dalam ESG Symposium 2023 di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Baca Juga

Sebagai sektor utama yang berkontribusi paling banyak terhadap pengurangan emisi GRK, kata Laksmi, pemerintah melalui KLHK sudah melakukan banyak hal. Antara lain penerapan sustainable forest management, pengendalian dan pencegahan hutan dan lahan, restorasi hutan gambut dan mangrove, serta banyak kegiatan lain di bawah sektor kehutanan.

“Kami akan terus melakukan aksi-aksi nyata melalui kebijakan, program, serta meningkatkan kolaborasi dengan berbagai pihak, karena ini akan menjadi kunci Indonesia untuk mencapai target-target pengurangan emisi di tahun 2030,” kata Laksmi.

Selain sektor kehutanan, sektor energi juga diandalkan dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca. Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi sebesar 358 juta ton karbon dioksida atau 12,5 persen dengan kemampuan sendiri, atau 446 juta ton karbon dioksida dengan bantuan internasional pada 2030, demikian menurut data Kementerian ESDM.

Sektor lain yang menjadi prioritas dalam dokumen kontribusi aksi iklim nasional (NDC) yaitu sektor pertanian, limbah dan industri. Semua sektor prioritas NDC tersebut, kata Laksmi, ditargetkan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca di tahun 2030 sebanyak 31,9 persen tanpa syarat dengan upaya sendiri. Target ini akan meningkat menjadi 43,2 persen apabila mendapat dukungan dari internasional.

“Sisa 7 tahun lagi sebelum 2030. Dan jika semua upaya kita berada di jalur yang benar, kita bisa memberikan bukti kepada dunia bahwa kita mampu mencapai target yang diharapkan di tahun 2030,” kata Laksmi.

Laksmi menjelaskan bahwa upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sudah seharusnya dijadikan prioritas nasional dan global. Pasalnya, saat ini dunia sedang menghadapi tantangan berat atau Triple Planetary Challenge, yang terdiri atas tantangan perubahan iklim, kehilangan aneka ragam hayati, dan tantangan pencemaran lingkungan.

“Bahkan Sekjen PBB pada climate emission summit mengatakan bahwa kemanusiaan telah membuka gerbang menuju neraka. Kalau kita tidak melakukan aksi apapun, maka kenaikan suhu bumi di akhir abad ini akan mencapai lebih dari 2 derajat Celcius. Padahal kita tahu, kenaikan setengah derajat Celcius saja, sudah menyebabkan banyak ekosistem yang unik, rentan, dan makhluk hidup yang tidak bisa beradaptasi akan punah,” tegas Laksmi.

Selain target pengurangan emisi GRK, Indonesia juga meningkatkan target adaptasi atau ketahanan iklim, dimana tiga ketahanan iklim yaitu ketahanan ekonomi, ketahanan hidup dan kehidupan, ketahanan ekosistem dan lanskap, akan ditingkatkan dan diperluas. Salah satu upaya yang dilakukan selain kebijakan, dan program, KLHK juga telah memperkenalkan yang disebut rumah kolaborasi dan konsultasi iklim dan karbon.

“Ini merupakan salah satu upaya untuk bisa mendukung kapasitas seluruh pemangku kepentingan untuk bersama melakukan aksi nyata mitigasi perubahan iklim,” tegas Laksmi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement