Kamis 19 Oct 2023 22:22 WIB

Inovasi Bank Syariah yang Lazim digunakan oleh Fintek Syariah dan Koperasi Syariah

SRIA adalah mempertemukan surplus unit dengan deficit unit.

Bagi hasil syariah (ilustrasi).
Foto: Foto : Mardiah
Bagi hasil syariah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yaser T. Syamlan, Dosen Tetap Jurusan Manajemen Bisnis Syariah IAI Tazkia Bogor

Di akhir 2018, Otoritas Jasa Keuangan telah memperkenalkan produk baru untuk perbankan syariah yaitu Sharia Restricted Intermediaries Account (SRIA). Produk ini diharapkan menjadi game changer untuk mendobrak produk tradisional yang sudah ada seperti giro, tabungan dan deposito.

SRIA belum massif digunakan Bank Syariah karena kurangnya insentif di sisi peraturan. Hal ini menyebabkan para banker syariah berinovasi pada produk lain yang secara pragmatis lebih menguntungkan dalam jangka pendek daripada menonjolkan keunikan mereka di Industri melalui produk SRIA.

Di sisi lain, fun fact-nya produk ini tidak sepenuhnya baru di dunia keuangan Indonesia, terutama di keuangan syariah karena lazim digunakan di peer to peer financing syariah. Tulisan ini akan mengupas pelaksanaan SRIA di peer to peer financing syariah dan koperasi syariah.

Fitur pertama dari SRIA adalah mempertemukan surplus unit dengan deficit unit. Secara umum, ada dua konsep keuangan yang disebut disintermediasi.

Konsep disintermediasi pada dasarnya memberikan surplus unit mempunyai hak mutlak untuk memilih mana deficit unit yang akan mereka berikan dana pembiayaan. Hal ini sesuai dengan POJK 10 tahun 2022, fintech secara khusus P2P Syariah malah mempertemukan investor dan pemilik usaha via platform yang mereka buat.

Penyedia platform P2P Financing Syariah sudah melakukan hal ini dan menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dalam operasional mereka. Di sisi lain, bagi koperasi syariah, sistem SRIA dapat mereka gunakan dengan mengadopsi bisnis model yang sama pada P2P Financing Syariah dengan mempertemukan anggota yang mempunyai project dengan anggota lain dalam satu koperasi yang menjadi investor.

Fitur kedua terletak di pengelolaan dana yang masuk. Pada produk SRIA, ketika bank menerima dana  dari investor akan langsung disalurkan kepada deficit unit tanpa dipotong untuk giro wajib minimum di bank Indonesia.

Pada di P2P Financing Syariah hal ini sudah dilakukan, bahkan investor yang menempatkan dana di satu usaha, tidak dapat menarik dananya sebelum proyek ini selesai. Artinya, terjadi kesesuaian antara jangka waktu pendanaan dan pembiayaan.

Lain halnya di Bank Syariah, produk giro, tabungan, dan deposito dengan tenor jangka pendek digabungkan dalam satu portofolio untuk kemudian disalurkan ke pembiayaan jangka panjang. Rata-rata produk pendanaan bank bertenor di bawah satu tahun untuk kemudian disalurkan ke pembiayaan di atas satu tahun.

Dalam arti kata lain, terjadi ketidaksesuaian jangka waktu antara sisi pendanaan dan pembiayaan yang akan menjadi risiko tersendiri bagi bank, bukan bagi nasabah penyimpan dana. Match making antara sisi pembiayaan dan pendanaan ini sudah dilakukan oleh P2P Financing Syariah dan juga Koperasi Syariah.

Mereka mengikat para stakeholders dengan klausul khusus bahwa pengembalian investor bergantung kepada prestasi dari project. Apabila project berjalan sesuai rencana merujuk ke akad yang telah disepakati, maka dana investor akan kembali on time.

Fitur ketiga dari SRIA terkait keputusan pemberian pembiayaan kepada pemilik proyek, hal ini amat sangat bergantung pada keinginan investor setelah melakukan proses analisa atas pengajuan pemilik proyek. Hal ini sudah juga dilakukan oleh P2P financing yang menjadi platform provider dan juga Koperasi Syariah yang menjadi ecosystem enabler bagi para anggotanya. 

Kedua LKS ini yang menjadi market place serta analis pembiayaan. Setelah pengajuan dinyatakan layak, pengusaha tersebut kemudian di upload informasinya di platform P2P Financing.

Di sisi lain, pada koperasi syariah, proyek yang sudah dinyatakan layak tersebut disebar ke anggota mereka lewat sistem internal mereka atau aplikasi komunikasi berbasis WhatsApp atau Telegram untuk memulai proses fundrasing. Apabila dalam masa fundraising tersebut jumlah yang dibutuhkan tidak terpenuhi, maka akan dikomunikasikan kembali kepada project owner-nya. Sebaliknya, apabila terpenuhi kebutuhan pengusaha ini, dana akan disalurkan langsung dari surplus unit ke deficit unit.

Fitur ke empat dari SRIA adalah tidak adanya penjaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Berbeda dengan  simpanan di Bank Syariah yang dijamin oleh LPS (bagi simpanan di bawah Rp 2 miliar), pada P2P financing syariah dan koperasi syariah tidak ada penjaminan dan semua risiko atas pembiayaan ini ditanggung seluruhnya oleh investor.

Kedua LKS ini memitigasi risiko kredit dengan menyertakan jaminan yang diberikan oleh project owner yang kemudian didaftarkan ke pihak terkait via notaris untuk mengamankan kepentingan investor. Perlakuan atas jaminan ini bergantung kepada akadnya syariah yang digunakan.

Fitur terakhir SRIA yaitu terkait keuntungan yang dibukukan oleh LKS, sumber pendapatan utama dari skema ini berasal dari fee atas jasa LKS melakukan analisa pembiayaan dan fee lainnya sesuai kesepakatan. Pada P2P Financing, skema ini adalah hal yang lazim dan sudah lama dilakukan di industri fintek.

Begitu juga pada koperasi syariah yang mendawamkan skema ini, ini memberikan alternatif return tambahan bagi para anggotanya selain dengan Sisa Hasil Usaha (SHU) yang setiap tahun biasa dibagikan ketika koperasi syariah membukukan keuntungan. Sebagai penutup, apakah SRIA akan sustain pada P2P Financing Syariah dan Koperasi Syariah? Mengingat risiko investasi yang ditanggung oleh investor, maka kedua LKS ini harus bekerja ekstra keras untuk memastikan para pengusaha layak dibiayai.

Fungsi kedua LKS ini ke depan harus lebih lncah dan bisa bertansformasi financing enabler menjadi inkubator bisnis bagi para pengusaha agar bisa menjadi solusi atas masalah klasik di pengusaha UMKM terkait manajemen dan laporan keuangan. Opsi lainnya adalah dengan membentuk lembaga inkubasi bisnis yang akan menjadi mitra platform untuk mengatasi permasalahan UMKM sehingga simbiosis mutualisme akan terbangun.

Kedua LKS ini akan mendapatkan pengusaha yang kompeten untuk dibiayai. Akhirnya, kedua LKS ini dapat juga meningkatkan inkulis keuangan yang ditargetkan 90 persen pada 2024 untuk menyosong kesejahteraan sosial yang berkeadilan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement