Senin 25 Sep 2023 10:50 WIB

Istilah Kartel yang Mencuat Kala Harga Beras Naik tak Terkendali

Penikmat utama kenaikan harga beras adalah pedagang besar.

Antrean warga mengular di lokasi penyelenggaraan Operasi Pasar Beras Medium. Foto ilustrasi
Foto: Republika/ Dea Alvi Soraya
Antrean warga mengular di lokasi penyelenggaraan Operasi Pasar Beras Medium. Foto ilustrasi

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Kenaikan harga beras saat ini penulis ibaratkan seperti panas setahun tertutup hujan sehari. Harga beras yang tinggi, di kisaran Rp 14 ribu-Rp 15 ribu per kilogram (kg) untuk jenis medium, dan di kisaran Rp 18 ribu per kg untuk premium, membuat pencapaian tiga tahun sebelumnya seakan-akan terlupakan.

Pencapaian sebelumnya adalah Indonesia, dalam jangka tiga tahun mampu melakukan swasembada beras. Bahkan bulan Agustus 2022, International Rice Research Institute (IRRI) memberikan penghargaan atas prestasi Indonesia dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Akan tetapi cerita berbeda terjadi tahun ini, ketika beras naik, mau tidak mau Pemerintah melakukan impor beras. Di saat yang sama, Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Rusli Abdullah menyebut petani tidak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga beras.

Ucapannya menilik data dari Informasi Harga Pangan Strategis (IHPS) untuk periode Januari sampai dengan September 2023. Rusli menyebut rentang margin dari pedagang besar ke pasar tradisional tercatat sebesar Rp 900 per kg pada Januari dan Rp 1.000 per kg pada September. Sedangkan margin dari pasar tradisional ke pasar modern tercatat sebesar Rp 950 per kg pada Januari dan Rp 550 per kg pada September.

Ternyata penikmat utama kenaikan harga beras adalah pedagang besar. Margin tertinggi dari produsen ke pedagang besar sekitar Rp 1.200 per kg di awal tahun, dan pada September meningkat menjadi 1.900 per kg.

Kenaikan harga beras tertinggi terjadi di tingkat pedagang besar dengan rata-rata sebesar 12,77 persen diikuti pasar tradisional dengan 12,65 persen, dan pasar modern sebesar 8,82 persen. Sementara kenaikan harga terendah terjadi di tingkat produsen dengan 7,58 persen.

Bila melihat kenaikan harga tersebut justru yang menanggung beban terbesar adalah pembeli kalangan menengah bawah, yang umumnya membeli di pasar tradisional. Kalangan menengah atas tidak mengalami beban sebesar dibawahnya, karena menilik kenaikan di pasar modern yaitu 8,82 persen.

Kenaikan harga ini selain mengancam kocek masyarakat juga kemungkinan berpengaruh terhadap inflasi. Kenaikan harga beras sejak Agustus dan September ini menyumbang inflasi yang cukup besar.

Realisasi dan rencana importasi beras sebanyak dua juta ton juga belum terlalu berpengaruh banyak pada harga beras. Padahal, bila kita berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, harga beras juga seringkali naik, dan lagi-lagi ditanggulangi dengan impor beras.

Sementara di saat yang sama, Bulog tampak kesulitan menyerap total produk yang ada di Indonesia. Hal ini membuat pengamat kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono khawatir dengan besarnya penguasaan pedagang atau swasta dalam industri perberasan. "mayoritas beras kita dikuasai oleh swasta yang dikhawatirkan bisa muncul adanya kartelisasi harga," ucap dia.

Istilah kartel sempat mencuat sekira 2015 atau setahun periode pertama Presiden Jokowi berkuasa. Ketika itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir ada praktik bisnis tak sehat dalam rantai pasok beras. Indikasinya adalah sulit masuknya pasokan beras medium di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Tidak hanya itu, harga beras medium juga selalu berada di atas harga yang ditetapkan.

KPPU ketika itu langsung menunjuk hidung para pelaku yaitu para pemasok beras besar, yang mencapai 6-7 pemasok. Hal ini membuat mereka bisa mengendalikan harga beras.

Kini di penghujung masa akhir Presiden Jokowi berkuasa, suara-suara soal kartel kembali terdengar. Hanya saja, hal tersebut hingga kini memang sulit untuk dibuktikan.

Kerja sama Pusat-Daerah

Merujuk pada komentar, Dewan Komisioner dan Ekonom Senior Indef Bustanul Arifin, pemerintah punya pekerjaan rumah (PR) besar dalam menghadapi melonjaknya harga beras. Bustanul menyampaikan, pemerintah harus memiliki solusi jangka pendek dan jangka panjang dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

Pertama, Pemerintah perlu melanjutkan bantuan pangan langsung. Kemudian juga bisa melalui peningkatan kombinasi kerja sama bisnis dengan skema government to government (G to G) maupun business to business (B to B), contract farming dengan mengikat komitmen petani mengirimkan hasil panen kepada pembeli daerah konsumen, percepatan smart farming, menyediakan offtaker, meningkatkan kapasitas pergudangan, hingga pendampingan dari universitas, LSM, konsultan, dan koperasi untuk petani.

Langkah berikutnya bisa dengan memberikan subsidi ongkos angkut (SOA) kepada petani pangan dan offtaker yang telah memiliki kerja sama hingga penyiapan dan pengembangan pengembangan lahan pangan khusus yang menjadi kontributor laju inflasi. Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah harus bekerja sama melakukan percepatan tanam pada lahan rawa, lebak, dan yang mengandalkan irigasi teknis serta perpompaan untuk meningkatkan kapasitas produksi padi di dalam negeri.

Perum Bulog juga harus menyelesaikan sisa kekekurangan 800 ribu ton impor beras hingga akhir 2023. Kepiawaian negoisasi akan menjadi kunci dalam finalisasi importasi beras dengan negara produsen selain India, misalnya, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Pakistan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement