Jumat 22 Sep 2023 11:48 WIB

Jangan Lagi Ada Jamaah Gagal Jantung Lolos Istithaah Kesehatan

.Ibadah haji bukan sarana menyerahkan nyawa.

Persoalan kriteria kesehatan jamaah haji harus menjadi perhatian pemerintah. foto ilustrasi
Foto: Amr Nabil/AP
Persoalan kriteria kesehatan jamaah haji harus menjadi perhatian pemerintah. foto ilustrasi

Oleh : Ahmad Syalaby Ichsan, Redaktur Agama Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Tingginya angka kematian jamaah pada musim haji 2023 membuat Kementerian Agama akan memperketat istithaah kesehatan. Setidaknya, ada 752 jamaah yang wafat selama penyelenggaraan Haji 1444 H. Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi bila dibandingkan dengan angka kematian jamaah dalam 10 tahun terakhir.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pun meminta agar pelunasan biaya haji hanya bisa dilakukan bagi jamaah yang dinilai sehat menurut peraturan. Untuk itu, Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 1444 H/ 2023 M merekomendasikan calon jamaah haji yang tidak istithaah akan dibagi dalam dua kategori. Yakni, tidak istithaah sementara dan tidak istithaah tetap atau permanen. Istithaah kesehatan juga akan ditetapkan lebih awal sebelum pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih).

Isu mengenai istithaah kesehatan sebenarnya sudah menjadi bahan pergunjingan beberapa dokter di Klinik Kesehatan Haji Indonesia Madinah pada musim haji 2022. Berdasarkan catatan Republika (https://www.republika.id/posts/29205/ibadah-haji-bagi-yang-mampu), data rekam medik kunjungan pasien yang dirawat inap di KKHI Madinah per tanggal 19 Juni 2022 saja menunjukkan ada 25 pasien dengan penyakit jantung. Di antaranya mengalami gagal jantung berat atau gagal jantung stadium IV dan enam di antaranya meninggal dunia.

Tidak hanya itu, tim dokter juga memberi kesaksian jika  ada pasien yang diidentifikasi mengalami penyakit Chronic Kidney Disease (CKD) dengan hemodialisis (HD) reguler, penyakit jantung kronik atau gagal jantung kronik stadium IV, dan skizofrenia atau gangguan jiwa. Petugas kesehatan di KKHI Makkah terheran-heran mengapa jamaah dengan kondisi tersebut bisa sampai ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji.

Jika kita merujuk pada Permenkes No 15 Tahun 2016, istithaah kesehatan jamaah haji disebut sebagai kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan meliputi fisik dan mental terukur dengan pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, jamaah dapat menjalankan ibadahnya sesuai dengan tuntunan agama Islam. Pada Pasal 9, ada empat status istithaah jamaah. Pertama, jamaah memenuhi syarat istithaah kesehatan haji; memenuhi syarat kesehatan haji dengan pendampingan; tidak memenuhi syarat istithaah kesehatan haji untuk sementara; Terakhir, jamaah yang tidak memenuhi istithaah kesehatan.

Melihat empat status tersebut, Permenkes ini juga sebenarnya sudah mengatur tentang tidak istithaah sementara dan tidak istithaah permanen yang merupakan dua status terakhir istithaah kesehatan jamaah. Apa saja kondisi yang dialami pasien tidak istithaah sementara? Masih dalam pasal yang sama, pasien tersebut tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional (ICV) yang sah. Pasien juga menderita penyakit tertentu yang berpeluang sembuh seperti Tuberkulosis Sputum BTA Positif, Tuberkulosis Multi Drug Resistance, Diabetes Melitus tidak terkontrol, Hipertiroid, HIV/AIDS dengan diare kronik, stroke akut, pendarahan saluran cerna, hingga anemia grafis.

Calon jamaah haji dengan status tersebut juga merupakan suspek penyakit menular (wabah), menderita psikosis akut, memiliki fraktur tungkai dan fraktur tulang belakang hingga ibu hamil yang berusia kehamilan kurang dari 14 minggu atau lebih dari 26 minggu pada saat berangkat.

Sementara itu, bagi jamaah yang tidak memenuhi istithaah kesehatan atau dalam istilah lain tidak istithaah permanen yakni memiliki kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa seperti penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) derajat IV; gagal jantung stadium IV, Chronic Kidney Disease stadium IV dengan peritoneal dialisis/hemadiolisis reguler. Penyakit lainnya yakni AIDS Stadium IV dan Stroke Hemorhagic luas. Kriteria lainnya yakni jamaah dengan gangguan jiwa berat dan jamaah yang menderita penyakit yang sulit disembuhkan seperti keganasan stadium akhir.

Kriteria istithaah kesehatan dalam permenkes tersebut sebenarnya sudah dibuat dengan amat detail dengan menjaga kemungkinan jika penyakit jamaah bisa sembuh menjelang pemberangkatan setelah mengalami perawatan dengan memberi status jamaah tidak istithaah sementara. Selanjutnya,  berita acara penetapan jamaah yang mendapatkan status tidak istithaah sementara atau tetap  akan  disampaikan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Pejabat terkait harus menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum jika antara dua kementerian utama dalam Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji yakni Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan kerap terjadi gesekan. Selain tampak dari tugas yang silang tindih di lapangan, adanya jamaah yang bisa berangkat haji meski tidak lolos istithaah kesehatan juga patut dipertanyakan. Penulis juga mempertanyakan apakah pejabat Kemenag mau menetapkan istithaah kesehatan dengan dasar hukum permenkes yang notabene bukan merupakan lembaga tempatnya bernaung?

Permasalahan lainnya yakni keyakinan sebagian masyarakat Indonesia yang menganggap meninggal dunia di Tanah Suci adalah tujuan hidupnya. Kuatnya keinginan masyarakat tersebut bisa menyebabkan potensi korupsi yang dimanfaatkan oknum untuk meloloskan calon jamaah dengan imbalan tertentu.

Untuk itu, penulis mengimbau butuh pendekatan dan sosialisasi kepada para calon jamaah jika haji bukanlah ajang pengantar nyawa. Terlebih, musim haji tahun depan kemungkinan kuota bagi pendamping akan dihapuskan. Sosialisasi ini harus disampaikan sejak dini sehingga masyarakat bisa memahami jika keselamatan adalah yang utama. Penulis juga mengimbau Kementerian Agama menerapkan akuntabilitas bagi mereka yang lolos atau tidak lolos istithaah kesehatan tanpa harus membocorkan data kesehatan calon jamaah. Selain itu, agaknya butuh regulasi yang bisa menaungi dua kementerian yang terlibat dalam penyelenggaraan haji tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement