Senin 21 Aug 2023 17:29 WIB

Kemerdekaan Hakiki dalam Alquran

Misi suci para Nabi adalah memerdekakan semua umat manusia.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Ketua Umum Ikadi KH Dr. Ahmad Kusyairi Suhail
Foto: IKADI
Ketua Umum Ikadi KH Dr. Ahmad Kusyairi Suhail

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH.Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, M.A.(Ketua Umum IKADI, Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pimpinan PonPes YAPIDH Bekasi)

 

Baca Juga

Setiap tahun, setiap bulan Agustus, tepatnya tanggal 17 Agustus, Indonesia selalu memperingati hari kemerdekaan. Dan tahun 2023 ini, tiada terasa sudah 78 tahun Indonesia Merdeka. Beragam acara dan kegiatan digelar. Dari mulai lomba balap karung, beragam cabang olahraga dipertandingkan hingga lomba panjat pinang. Ada juga yang menyelenggarakan acara dzikir, do'a dan istighotsah untuk bangsa, juga acara-acara seremonial lainnya. 

Selain yang pasti upacara Detik-detik Proklamasi yang dilaksanakan di seantero Nusantara. Semua itu diselenggarakan konon dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan. Tetapi, benarkah kita sudah merdeka?! Jika kemerdekaan dimaknai merdeka dari penjajah, maka bangsa ini memang telah merdeka. Namun, dalam perspektif Al-Qur’an, benarkah bangsa ini merdeka? Lalu apa kemerdekaan hakiki menurut Al-Qur’an? Ayat berikut menyinggung hal ini secara gamblang. 

Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ

Artinya: "Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut [Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT] itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)" (QS An Nahl [16]: 36).

Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah SWT mengutus pada setiap umat seorang Rasul, sejak zaman nabi Nuh AS sampai nabi Muhammad SAW untuk menjalankan misi suci. Misi suci itu adalah memerdekakan semua umat manusia dari penyembahan kepada selain Allah, menuju penyembahan kepada Allah semata. 

Dalam bahasa ayat tersebut, bahwa semua rasul yang diutus oleh Allah SWT menyeru kaumnya, "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut". Hal ini dipertegas oleh banyak ayat dalam Al Qur'an, diantaranya Allah berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" (QS Al Anbiyaa' [21]: 25).

Maka, nabi Nuh AS mengatakan kepada kaumnya, "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)" (QS Al A'raaf [7]: 59).

Nabi Hud AS yang diutus kepada kaum 'Ad, menyeru kaumnya, 

"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS Al A'raaf [7]: 65)

Nabi Shalih AS kepada kaumnya, Tsamud, menyeru hal sama. 

"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya" (QS Al A'raaf [7]: 73).

Hal yang sama juga dilakukan oleh nabi Syu'aib AS kepada kaumnya, penduduk Madyan.

 "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya" (QS Al A'raaf [7]: 85).

Hal ini menunjukkan, bahwa Din (agama) para rasul itu satu dan Wihadatu Risalaati'r Rusul (kesatuan visi dan misi para rasul), yaitu menjadikan umat manusia merdeka dari penyembahan kepada selain Allah SWT dan hanya menyeru untuk menyembah Allah semata.

Karena itu, menurut Ibnu Katsir, setelah penjelasan ini, bagaimana bisa orang-orang musyrik itu mengatakan –seperti dalam ayat sebelumnya -"Jika Allah menghendaki, niscaya Kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia" (QS An Nahl [16]: 35). Sesungguhnya Masyi'ah Syar'iyyah (kehendak Allah yang bersifat syar'i) untuk kufur itu telah ternafikan dengan sendirinya sehingga tidak bisa mereka menisbatkan kemusyrikannya kepada kehendak Allah, karena hal itu bukanlah keinginan-Nya. 

Sebab, Allah Ta'aala telah melarang umat manusia untuk kefur melalui lisan para Rasul-Nya.  Sementara Masyi'ah Kauniyyah (kehendak Allah yang bersifat kauni), yaitu taqdir (ketentuan) Allah atas kekufuran sebagian umat manusia adalah sesuai dengan pilihan mereka sendiri, sehingga hal ini tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) atas kekufuran mereka. 

Sebab, Allah SWT telah menciptakan api neraka dan penghuninya adalah setan-setan dan orang-orang kafir. Allah sendiri tidak ridha hamba-hamba-Nya menjadi kufur. Maka, hal ini telah menjadi hujjah yang kuat bagi-Nya SWT (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir III/212). 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement