Selasa 15 Aug 2023 17:36 WIB

Warga Marunda Terpaksa 'Berdamai' dengan Polusi Batubara

Warga Marunda, Jakarta Utara terpaksa berdamai dengan polusi batubara.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Bilal Ramadhan
Puluhan warga Rusunawa Marunda alami sakit kulit dan gatal-gatal diduga imbas dari polusi udara dan debu batubara, Selasa (15/8/2023)
Foto: Republika/Fergi Nadira
Puluhan warga Rusunawa Marunda alami sakit kulit dan gatal-gatal diduga imbas dari polusi udara dan debu batubara, Selasa (15/8/2023)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Richard, Syifa, Nagita, Aska, Ruby dan Raffif merupakan segelintir warga yang menderita sakit kulit akibat polusi udara dan debu batu bara yang mengepung wilayah Rusunawa Marunda. Hampir satu gedung di blok D3 Rusunawa Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara mengalami gatal-gatal dengan tingkat keparahan yang beragam.

Warga meyakini penyebabnya adalah karena debu batubara dari aktivitas keluar masuknya kapal tongkang batubara di Pelabuhan Marunda. Pantauan Republika, kepulan asap hitam memang terlihat mengundara dari cerobong di Kawasan Berikat Nusantara dekat Rusunawa yang sepertinya membawa polusi udara hingga ke tengah kehidupan warga di sekitarnya.

Baca Juga

"Saya sudah ke Puskesmas, kata mereka mungkin karena kutu kasur. Tapi masa semua segedung ini kena kutu kasur. Sudah jelas itu kemungkinan dari debu batubara yang masih terbang hingga ke sini," kata Rubby warga Blok D3 lantai 5, Rusunawa Marunda yang mengalami gatal-gatal, kepada Republika pada Selasa (15/8/2023).

Anaknya, Aska (7 tahun) juga mengalami gatal yang cukup parah pada kulit tangan hingga kaki. Seperti melepuh dan terkadang basah, luka bekas garukannya membuat Aska merasakan perih ketika terkena air.

"Paling dipakai salep, sama bedak, saya juga ini alami gatal-gatal tapi tidak separah anak saya," kata dia.

Warga lain menceritakan hal serupa, ibu dari Raffif yang berusia 1,5 tahun mengeluhkan mengalami bintik-bintik merah yang sangat membuat gatal. Namun demikian, gatal pada tubuhnya tidak sebanding dengan putra bungsunya yang masih balita.

Raffif menangis kejar imbas reaksi gatal dan perih pada luka di kulitnya yang kerap melepuh hingga bernanah. "Nggak tega banget, kurang lebih sudah sebulan. Ke Puskesmas dikasih obat gatal, tapi dua pekan kemudian muncul lagi kayak gini sampai kadang bernanah," kata ibu Raffif.

Richard Tosea (24 tahun) bisa dikatakan warga Rusunawa Marunda dengan sakit kulit dengan tingkat paling parah. Di sekujur kaki kanan dan kirinya penuh dengan luka melepuh dan bernanah sampai pada koreng. Dia mengaku lukanya telah dialaminya kurang lebih dua bulan ini.

"Sangat tidak nyaman, kadang gatal luar biasa dan saya juga nggak tahu kenapa bisa begini. Katanya karena kutu kasur, tapi setiap hari kasur saya bersihkan, saya sudah pakai sabun bagus hingga obat, tapi masih luka timbul seperti ini," kata Richard.

Ibu Richard mengatakan, putranya telah dibawa ke Puskesmas Rusunawa di Blok B8, namun tidak kunjung membaik hingga akhirnya dibawa ke klinik di dekat daerah Cilincing.

Menurut dia, setiap hari ia membersihkan lantai, jendela dan pintu dari debu batubara hitam yang masuk ke wilayahnya. "Ini setiap hari saya menyapu dan mengepel, ini debunya hitam. Warga di sini semua kena imbasnya," ujarnya.

Warga Rusunawa Marunda yang tergabung dalam Forum Masyarakat Rusunawa Marunda (FMRM) mendesak dan menantikan aksi nyata pemerintah DKI Jakarta untuk melindungi warganya terutama dari debu batubara.

Meski izin lingkungan PT Karya Cipta Nusantara (KCN) telah dicabut, aktivitas keluar-masuk kapal tongkang pembawa batu bara di Pelabuhan Marunda dan kepulan asap dari cerobong masih tampak di dalam Kawasan Berikat Nusantara.

Itu lah yang diyakini membawa polusi udara ke tengah kehidupan warga. "Tak hanya warga Rusunawa kok mba, banyak warga di rumah tapak di sekitar sini juga terimbas," kata Rubby.

Ketua FMRM, Didi Suwandi menilai polusi udara yang terjadi di Marunda juga disebabkan karena lemahnya pengawasan dan pendampingan kepada pelaku usaha yang ada di 3 kawasan, yaitu KBN Marunda, Pelabuhan Marunda, Marunda Center. Hal ini pun membuat pelaku usaha tidak selaras dengan regulasi yang ada.

"Kami mengimbau kepada Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, KSOP, Pelabuhan Marunda dan KBN untuk berkoordinasi menyertakan para akademisi untuk membuat skema dalam menanggulangi pencemaran udara yang sudah terjadi dan kami siap jika diperlukan," kata Didi saat dihubungi Republika pada Selasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement