Selasa 15 Aug 2023 12:34 WIB

Teori Injak Gas-Rem dan Ekonomi yang 'Baik-Baik' Saja

Kontrol rem dan gas ini berkaitan erat dengan kondisi ekonomi memasuki fase ekspansi.

Staf teller melayani nasabah di Kantor Bank Jago, Jakarta, Selasa (7/2/2023). Bank Jago sebagai salah satu bank digital di tanah air terus memperluas ekosistem dan diversifikasi risiko demi meningkatkan akses keuangan kepada masyarakat.
Foto:

Oleh : Elba Damhuri, Jurnalis Ekonomi/Podcaster

"Teori" Injak Rem dan Gas

Arief Harris termasuk bankir papan atas yang dikenal dengan "teori" rem dan gas. Arief memahami betul kapan dia harus mengerem, kapan harus injak pedal gas.

"Pertumbuhan (perbankan) memang penting, tapi dilakukan tidak dengan cara ugal-ugalan," kata Arief.

Kontrol rem dan gas ini berkaitan erat dengan kondisi ekonomi (siklus ekonomi) yang saat ini bisa dikatakan memasuki fase ekspansi. Ekonomi Indonesia dan negara-negara lain mencoba bangkit dari keterpurukan saat pandemi Covid-19 dan krisis global.

Salah satu ciri ekonomi ekspansif ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berbasis pada kenaikan belanja masyarakat atau konsumsi. Ekspansi ekonomi diikuti inflasi moderat, suku bunga rendah-menengah, hingga investasi yang bergerak ke atas.

Di sini, perbankan masuk ke dalam siklus ekspansi ekonomi dengan cara menggelontorkan kredit sebesar-besarnya. Bagi bankir, situasi ekonomi saat ini menjadi godaan terberat untuk meraup profit dengan cara menebar likuiditas ke masyarakat dalam bentuk kredit/pembiayaan.

Tapi, Arief memandang berbeda atas ekspansi ekonomi ini. Ekspansi ekonomi harus tetap diikuti dengan pembiayaan berkualitas perbankan. Ada risiko-risiko yang terus menghantui perbankan.

Ia memberi contoh kasus bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika. Menurut Arief, SVB ambruk karena salah mengelola likuiditas di mana terjadi dentuman keras saat suku bunga acuan naik namun para startup nasabah SVB masih megap-megap untuk membayar kewajibannya.

Rush alias penarikan besar-besaran pun tak terelakkan. Kisruh SVB menular ke bank sejenis lainnya. SVB ambruk, industri startup ikut jatuh. 

Inilah, kata Arief, yang disebut sebagai efek liquidity mismatch karena tidak hati-hati mengelola risiko likuiditas. Arief menekankan, bank harus lebih disiplin dalam melakukan manajemen risiko, seperti risiko kredit, risiko reputasi, risiko likuiditas, hingga risiko hukum.

Jadi, Arief menegaskan bankir harus jeli kapan harus injak pedal gas untuk tumbuh dan kapan harus injak rem untuk meminimalkan risiko. "Bagaimanapun, bank is a bank, fundamentalnya harus kuat, neracanya sehat, dan harus bisa menghasilkan profit karena terkait menjaga kepercayaan publik,” kata pria yang sebelumnya menjabat sebagai Wadirut Bank Jago itu.

Keseimbangan antara rem dan gas ini sangat penting bagi industri perbankan. Apalagi, Arief mengatakan Bank Jago termasuk banyak memiliki partner ekosistem startup yang sedang tumbuh. Konsistensi rem dan gas terus dilakukan agar pertumbuhan kredit tetap berkualitas.

“Buat apa kita injek gas dalam-dalam (saat ekspansi) kalau kita tahu di depan ada jurang. Buat apa kita terlalu agresif menyalurkan kredit, kalau tahun berikutnya kita malah sibuk bersih bersih NPL (kredit macet). Bagi kami, pertumbuhan memang penting, tapi bukan dengan cara ugal-ugalan,” kata Arief.

Gila-gilaan atau ugal-ugalan ini merujuk pada kebijakan bank yang berlebihan bakar uang dalam akuisisi nasabah atau terlalu bablas dalam menyalurkan kredit. Sikap ugal-ugalan ini berisiko mengurangi keuntungan dan kepercayaan publik terhadap lembaga perbankan.

Tak heran jika kinerja Bank Jago cukup meyakinkan pada pertengahan 2023 ini. Pada Semester I-2023, laba bersih Bank Jago mencapai Rp 41 miliar, naik 40 persen secara tahunan. Total aset tumbuh 29 persen menjadi Rp 18,8 triliun. Sementara jumlah nasabah Jago dari ekosistem GOTO mencapai lebih dari 35 persen. 

Jadi, untuk sejumlah hal, kita harus tahu kapan injek rem dan kapan tekan gas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement