Ahad 06 Aug 2023 08:41 WIB

Menggugat Sepak Bola Eropa yang tak Lagi Masuk ke Hati Anak Muda

Anak muda merasa sepak bola membosankan.

Sebuah spanduk terlihat di luar Stadion Anfield Liverpool yang memprotes pembentukan Liga Super Eropa, Liverpool, Inggris, Senin (19/4).
Foto: AP / Jon Super
Sebuah spanduk terlihat di luar Stadion Anfield Liverpool yang memprotes pembentukan Liga Super Eropa, Liverpool, Inggris, Senin (19/4).

Oleh : Gilang Akbar Prambadi, Redaktur Olah Raga Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Keberhasilan Manchester City meraih treble winners musim lalu begitu membekas. Fans City, dan penggemar Manchester United selaku rival, habis-habisan membahas catatan tersebut.

Saling hujat dan sindir terjadi. Salah satu pihak merasa lebih hebat dibandingkan pihak lainnya.

Namun, ternyata saat diperhatikan, kedua kubu tampak Heri, alias heboh sendiri. Klaim membekas pada kalimat pertama pada tulisan ini pun sebenarnya agak pudar bila ditarik ke lingkup yang lebih dari sekadar dua kubu tersebut.

Faktanya, penyuka bola secara umum, dan pecinta klub-klub lain seolah tak peduli dengan keberhasilan City mencatatkan treble yang sebenarnya sudah MU lakukan berdekade-dekade lalu.

Fenomena 'anyepnya' diskusi soal bola belakangan ini juga bukan cuma tercermin dari momen treble winners-nya City. Maju beberapa pekan, masa-masa bursa transfer pemain di musim panas Eropa Juni-Sepetmber biasanya kerap mengundang atensi luar biasa dari seluruh penjuru dunia.

Namun, entah mengapa, di dunia maya bahkan nyata, orang-orang seperti tak lagi peduli. Belum lagi bila bicara soal laga pramusim yang dulu begitu menyedot perhatian karena mempertemukan tim-tim besar Eropa.

Secara garis besar, tentunya ini pengamatan pribadi penulis yang fokus sebagai jurnalis olahraga. Namun, tak bisa dimungkiri begitu terasa bahwa publik seperti kehilangan gairah kepada sepak bola Eropa.

Indikator termudah bagi penulis adalah dengan berpegang kepada jumlah pembaca atau viewer di media ini. Tak hanya di media ini, perbincangan dengan kawan-kawan seperjuangan dari media lain pun menghasilkan kesimpulan serupa. Minat terhadap sepak bola sedang dalam titik yang membingungkan.

Untuk ranah yang lebih luas, Anda bisa menguji kesimpulan penulis dengan melihat fenomena di tengah anak muda.

Cobalah mengajak generasi Z atau milenial berdiskusi. Rentang bangku SMA, kuliah, hingga muda-mudi usia 20an akhir.

Dialog tentang sepak bola dengan mereka terasa kurang 'nemu'. Tapi berbeda bila yang kita bicarakan topiknya menyangkut esports seperti MLBB dan PUBG, pasti nyambung.

Lantas sebetulnya di mana persoalan mendasarnya? Berpikir bahwa sepak bola sudah bukan olahraga populer tentu keliru.

Itu karena, bila setiap kali yang dibicarakan adalah kiprah timnas, darah pasti bergelora. Itu bukti sepak bola masih yang terkasih di hati masyarakat Indonesia.

Maka, konteks pun menyempit ke hipotesa ringan bahwa; sepak bola Eropa sudah tak semenarik dulu. Tentu ini masih membutuhkan riset lebih mendalam.

Namun, bila kita kaitkan dengan sikap klub raksasa-raksasa Eropa belakangan ini, benang merah mulai terlihat. Presiden Real Madrid Florentino Perez dalam pernyataannya pada April 2021 tegas menyatakan bahwa sepak bola mulai berjalan monoton. Baik dari segi permainan, format kompetisi dan turnamen, maupun bumbu-bumbu penyedap di luar lapangannya.

Perez menilai, dalam waktu dekat, sepak bola akan kehilangan penggemarnya. Itu karena generasi lama akan semakin menua dan pergi. Sedangkan generasi muda sejak dini sudah tak tertarik kepada sepak bola. Ia pun menuntut sepak bola harus berubah dan beradaptasi. Beradaptasi dengan siapa? Tentu saja dengan generasi muda selaku masa depan dunia.

Perez sadar, saat ini anak muda merasa sepak bola membosankan. Sosok asal Spanyol itu tak asal bicara. Timnya melakukan analisis, diketahui anak muda usia 16 hingga 24 tahun, 40 persen dari mereka tidak tertarik dengan sepak bola. Penyebabnya, karena ada banyak gim dan anak muda lebih memilih platform hiburan lain.

Berangkat dari kecemasan itulah, Perez mengajak klub-klub besar di Eropa untuk membuat solusi. Caranya adalah dengan membentuk European Super League, alias Liga Super Eropa.

Gayung bersambut, klub-klub elite Benua Biru pun ternyata punya pemikiran serupa dengan Perez. Manchester United, Manchester City, Arsenal, Chelsea, Liverpool, Tottenham Hotspur, Barcelona, Atletico Madrid, Juventus, AC Milan, serta Inter Milan sepakat ikut untuk ikut dalam proyek Liga Super Eropa.

Salah satu yang paling fundamental, adalah mengubah waktu jalannya pertandingan. Satu pertandingan sepak bola selama ini bisa menghabiskan waktu 90 menit, bahkan 120 menit pertandingan jika terdapat babak tambahan.

Di mata ke-12 tim yang tergabung dalam Liga Super Eropa, itu terlalu lama sehingga ada gagasan untuk memotongnya menjadi 40-60 menit saja. Namun, upaya mewujudkan Liga Super Eropa menuai banyak kecaman.

Mereka dianggap eklusif, karena dalam praktiknya, 12 tim itu yang akan lebih dulu menjalani turnamen. UEFA pun meradang, gagasan Liga Super Eropa dianggap sebuah pengkhianatan.

Padahal, jika dipikir-pikir, tentunya ke-12 tim itu lebih memahami apa yang sedang terjadi kepada sepak bola. Diakui atau tidak, sangat masuk akal bila mereka berpikir bahwa sepak bola sedang tidak baik-baik saja. Itu karena, Madrid dan Juventus Cs paham dengan apa yang mereka lakukan.

Atas dasar hal ini, tentunya kita sepakat bahwa mereka berpikir lebih luas dibandingkan kita. Untuk itu, menarik menantikan akan seperti apa sepak bola di masa yang akan datang, khususnya, di Eropa.

Adapun untuk sepak bola Indonesia hal berbeda sedang berjalan. PSSI kini terus membenahi liga dalam negeri dan mempersiapkan timnas yang perkasa, untuk semua kategori umur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement