Senin 31 Jul 2023 18:25 WIB

Puluhan Warga Diduga Tertipu Developer Rumah di Citeureup Bogor

Nilai kerugian korban dilaporkan mencapai sekitar Rp 8,5 miliar.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Irfan Fitrat
Sejumlah warga melaporkan kasus dugaan penipuan terkait pembangunan rumah di Citeureup, Kabupaten Bogor, ke Polda Jawa Barat (Jabar), Kota Bandung, Senin (31/7/2023).
Foto: Dok Republika
Sejumlah warga melaporkan kasus dugaan penipuan terkait pembangunan rumah di Citeureup, Kabupaten Bogor, ke Polda Jawa Barat (Jabar), Kota Bandung, Senin (31/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Pihak pengembang berinisial DH dilaporkan ke Polda Jawa Barat (Jabar) terkait dugaan penipuan pembangunan rumah di kawasan Citeureup, Kabupaten Bogor, Senin (31/7/2023). Pembeli rumah mempertanyakan kelanjutan pembangunan dan dasar hukum kepemilikan rumah. 

Kuasa hukum paguyuban korban, Muhammad Taufik, mengatakan, kasus itu sudah dilaporkan ke Polda Jabar dengan nomor laporan LP/B/305/VII/2023/SPKT/POLDA JAWA BARAT. “Total ada sekitar 60 korban yang melaporkan, dengan total kerugian sekitar Rp 8,5 miliar,” kata dia di Markas Polda Jabar, Kota Bandung, Senin.

Taufik mengatakan, para korban melaporkan pihak pengembang berinisial DH. Para korban ini sudah membayar uang untuk pembelian rumah, baik secara tunai maupun cicil, pada periode 2017-2019. Namun, rumah tak kunjung dibangun.

“Para korban belakangan tahu developer diduga belum memiliki alas hak atas tanah, baik SHM (sertifikat hak milik) maupun HGB (hak guna bangunan),” kata Taufik.

Menurut Taufik, para korban sebelumnya tertarik membeli perumahan yang dipasarkan DH karena terdapat berbagai fasilitas. Total sekitar 140 kaveling yang telah dipasarkan oleh pihak pengembang.

Taufik mengatakan, rumah tipe 30/60 dijual dengan harga sekitar Rp 148,5 juta hingga Rp 193 juta, yang pembayarannya bisa dicicil sampai lima tahun. Menurut dia, para korban dijanjikan pembangunan akan dilakukan bertahap selama 12 bulan, dengan tenggang waktu tiga bulan serah terima bangunan.

“Konsumen telah membayarkan sejumlah uang untuk pembelian tanah. Ada yang sudah masuk Rp 50 juta sampai Rp 190 juta,” kata Taufik.

Namun, menurut Taufik,  setelah beberapa waktu pengembang tidak juga membangun perumahan. Ia mengatakan, pihak developer sempat menawarkan solusi dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) maupun Akta Jual Beli (AJB). Akan tetapi, kata dia, diduga dokumen tersebut palsu.

“Hal itu sangat merugikan konsumen karena tidak ada kepastian alas hak bagi rumah dan tanah yang ditempati,” kata Taufik. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement