Senin 31 Jul 2023 17:41 WIB

MK Terima Berkas Gugatan atas UU Harmonisasi Perpajakan

Penggugat menilai ada beda pendapat dalam putusan pengadilan terkait pajak.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi sidang di Mahkamah Konstitusi.
Foto: Republika/Eva Rianti
Ilustrasi sidang di Mahkamah Konstitusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menerima berkas gugatan atas UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Perkara yang dipersoalkan agar upaya paksa di bidang kasus perpajakan menjadi objek perpajakan. 

Gugatan itu dilayangkan oleh warga asal Karo, Sumatra Utara (Sumut), Surianingsih. Dia mengamati masih ada perbedaan pendapat dalam putusan di berbagai pengadilan. Surianingsih memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya Cuaca Teger. Aturan yang diuji ialah beberapa pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Baca Juga

Pasal 43 ayat 1 berbunyi:

Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Adapun ayat 4 berbunyi:

Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Atas dasar itu, Surianingsih meminta:

Menyatakan frasa 'pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan' Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'pemeriksaan bukti permulaan yang merupakan bagian penyidikan'.

Menyatakan frasa 'Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan' dalam Pasal 2 Angka 13 Pasal 43A ayat (4) UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara'.

"Bahwa dalam pemeriksaan bukti permulaan dapat dilakukan upaya paksa. Akan tetapi, terhadap upaya paksa tersebut tidak terdapat perlindungan hukum bagi," tulis pernyataan Teger dalam berkas permohonan dikutip dari situs MK pada Senin (31/7/2023).

Teger menjelaskan upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik (PPNS) dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan tidak dapat digugat melalui praperadilan di Pengadilan Negeri. Dan juga tidak dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena surat-surat yang diterbitkan dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan merupakan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana yang dikecualikan dari kompetensi PTUN.

"Hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan," ujar Teger.

Atas dasar itulah, Teger mengamati terjadi ketidakpastian mengenai kompetensi peradilan yang dapat menjadi tempat bagi kliennya untuk mencari keadilan. Apabila hak-hak kliennya dilanggar selama pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan.

"Faktanya, terdapat putusan pengadilan yang berbeda-beda berkaitan dengan permohonan (gugatan) Praperadilan terhadap pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan," ucap Teger.

Dari berbagai kasus yang terjadi, Teger menyebut terdapat dua model putusan peradilan terkait permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Ada hakim yang dalam putusannya mengabulkan permohonan praperadilan dan ada hakim yang menolak.

"Terlihat terjadi perdebatan mengenai kompetensi pengadilan dalam mengadili praperadilan pemeriksaan bukti permulaan. Bahwa putusan-putusan pengadilan negeri yang telah diuraikan di atas membuktikan terjadi ketidakpastian hukum dalam mekanisme kontrol terhadap pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan," ujar Teger.

Teger menegaskan potensi kerugian konstitusional kliennya diakibatkan oleh ketidakjelasan norma dalam ketentuan Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU HPP. 

"Pemohon mengalami ketidakpastian dalam hal perlindungan hukum apabila diperiksa dalam pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan," ujar Teger.

Permohonan baru saja didaftarkan ke MK. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement