Senin 03 Jul 2023 22:23 WIB

Harga Tanah Meroket, Anak Muda Makin Sulit Beli Rumah

Banyak yang menilai harga rumah di Jakarta memang sudah tidak masuk akal.

Rumah bersubsidi di Kawasan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Foto: Republika/Prayogi
Rumah bersubsidi di Kawasan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Oleh : Friska Yolandha, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Curhatan generasi mudah tentang harga rumah tak ada habisnya. Di media sosial, banyak pejuang UMR yang mengeluh sulitnya mendapatkan rumah yang layak dengan lokasi yang strategis.

Kebanyakan, perumahan baru dibangun di kota-kota satelit yang mengelilingi Jakarta. Namun, lokasinya sudah terbilang sangat jauh dari pusat ekonomi. Kalaupun ada perumahan di lokasi yang masih 'mepet' Jakarta, harganya sudah nggak 'ngotak' alias mahal banget.

Kalau tidak sanggup membeli rumah baru, anak muda kini mulai melirik rumah bekas. Namun, membeli rumah bekas tentu bukan tanpa risiko. Membeli rumah bekas berarti juga membeli masa lalunya.

Seperti cerita yang diunggah akun @/workfess. Salah seorang pekerja menemukan rumah bekas di wilayah Jakarta Selatan dengan harga murah. Rumah murah di wilayah DKI Jakarta tentu bagaikan berlian di tengah lautan.

Namun setelah ditanya, rumah tersebut ternyata memiliki sejarah kelam karena pernah menjadi lokasi bunuh diri. Pekerja itu pun bertanya pada forum apakah lebih baik membeli atau melepas rumah itu.

"Ambil, Abis itu renov dan “dibersihin”. Harga rumah di Jakarta jauh lebih horor dari hantu," tulis akun @/discoverrio. Jawaban serupa ditemukan di balasan-balasan lainnya.

Banyak yang menilai harga rumah di Jakarta memang sudah tidak masuk akal. Jangankan di Jakarta, harga rumah di perbatasan Jakarta dan Jawa Barat/Banten juga semakin tidak terjangkau oleh pejuang UMR.

Ini diakui oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Keterbatasan dana membuat pekerja terpaksa membeli rumah dengan jarak yang lebih jauh demi mendapatkan properti dengan harga yang lebih terjangkau. Setiap tahun, pekerja mendapatkan rumah lima kilometer lebih jauh dari tahun sebelumnya.

Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan, Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna mengakui, berbagai program pemerintah untuk menyediakan rumah tapak di daerah penyangga, bukan mempermudah tetapi justru menambah kesulitan bagi pekerja. Pasalnya, mereka harus menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan yang tentunya juga memakan biaya lebih.

Ini terjadi pada salah satu kawan saya yang seorang pekerja ASN, sebut saja Dewi. Tahun lalu, Dewi lolos tes CPNS di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebelumnya, Dewi bekerja sebagai pekerja di perusahaan swasta dan telah mengambil rumah subsidi di wilayah Cileungsi, Kabupaten Bogor. Dewi memutuskan untuk mengosongkan rumahnya dan mengontrak di tengah Jakarta demi memangkas waktu perjalanan menuju kantor. "Biar waras," kataya.

Herry mengatakan, salah satu solusi untuk mengatasi lokasi rumah yang makin jauh dari tempat bekerja adalah dengan mendorong pembangunan rumah vertikal seperti rumah susun (rusun). Solusi itu dinilai dapat lebih memudahkan masyarakat memperoleh hunian layak namun dengan jarak yang tak jauh.

Namun demikian, program ini harus diawasi dengan ketat. Jangan sampai rusun yang seharusnya untuk pekerja berpenghasilan rendah malah diborong oleh 'juragan' yang kemudian mengontrakkan rumah tersebut ke orang lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement