Jumat 23 Jun 2023 01:50 WIB

Haedar Ungkap Kegelisahan Atas Kondisi Bangsa, Singgung Mahkamah Konstitusi

Haedar menyebutkan, integritas hakim Mahkamah Konstitusi itu setara dengan malaikat.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu
Foto: Muhammad subarkah
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PP Muhammadiyah menyelenggarakan media gathering yang mempertemukan para pimpinan redaksi media massa di kantor Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (22/6/2023). Dalam kesempatan ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan kegelisahannya terkait kondisi kebangsaan saat ini.

"Menjelang Pemilu 2024 ini, kita disuguhi ini dukung siapa, siapa cawapresnya, dan sebagainya. Iya, ini memang bagian dinamika dari politik praktis, tetapi, yang terpenting adalah bagaimana politik dari berbagai kepentingan dan relasi politik praktis ini berpijak di atas kehidupan kebangsaan yang fundamental," kata Haedar.

Baca Juga

Dia juga mengingatkan bahwa ada nilai agama, Pancasila, dan nilai luhur bangsa. Kepentingan negara dan bangsa harus lebih diutamakan dibandingkan kepentingan politik yang bersifat golongan, kelompok, atau kekuatan politik di balik itu.

"Sering kali kepentingan politik dengan berbagai transaksi, yang terlihat mengoyak alam pikiran dan visi kebangsaan serta kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok golongan," tuturnya.

Haedar menyinggung kondisi Mahkamah Konstitusi (MK) yang terdiri dari sembilan hakim, di mana hitam putih negara ini bergantung pada sembilan hakim tersebut. Salah satu persoalan yang ditimbulkan akibat putusan MK adalah putusan MK memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula 4 tahun menjadi 5 tahun.

Haedar menyebutkan, integritas hakim Mahkamah Konstitusi itu setara dengan malaikat. "Ini soal integritas yang tingkatnya malaikat, artinya, bisakah menuntut mereka untuk seperti malaikat. Harus," tuturnya.

Kemudian Haedar juga menyinggung beberapa persoalan yang tengah menjerat bangsa ini. Di antaranya soal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang telah didelusi dan tidak ideal, masalah RUU Kesehatan yang kurang mengokomodasi masukan masyarakat, dan sejumlah undang-undang yang menurutnya punya masalah serba asing.

"Nyaris setiap undang-undang yang disahkan dan kebijakan itu ada problem serba asing. Investasi asing, tenaga kerja asing, dokter asing, tenaga kesehatan asing, dan soal impor," katanya.

Haedar mengakui, globalisasi tidak bisa dihindari tetapi patut dipertanyakan terkait apakah ada kebijakan strategis untuk menjaga nasionalisme. Juga tetap mengutamakan kepentingan dalam negeri dan kedaulatan di tengah era keterbukaan global, yang kalau didalami, di era tersebut Indonesia hanya sebagai objek.

"Jangan berlindung dari era keterbukaan global. Oke (era keterbukaan global), tetapi kan tugas kepemimpinan adalah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Soal serba asing ini kan nyata, cuma kita belum terbuka seberapa jauh soal tenaga kerja asing. Maka kita ketuk hati setiap elite dan institusi politik negara kita yang selama ini menyuarakan nasionalisme, adakah upaya melindungi kepentingan nasional di tengah era keterbukaan," paparnya.

Haedar juga mengajak untuk tidak terus mengakumulasi isu yang membuat elemen bangsa retak. Misalnya soal isu politik identitas yang dimaknai dengan kepentingan masing-masing. 2024 ini gak hanya soal politik identitas tapi juga transaksi politik yang itu bisa jadi beban buat rakyat," jelasnya.

Menurut Haedar, berbagai masalah yang mendera bangsa ini bermuara pada kerancuan tata negara yang terus berlangsung. "Semua merasakan bahwa semua kebijakan adalah untuk kepentingan negara, tetapi haluan negara mengarah ke tempat lain," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement