Selasa 13 Jun 2023 12:30 WIB

Politik Dagang Sapi 

Sebentar partai berkoalisi ke sini sebentar ke sana, seperti pendulum.

Bendera partai politik. Ilustrasi
Foto:

Praktis bisa dikatakan, belum pernah pemerintah melaksanakan sebuah program pembangunan yang ideal bagi rakyat, kecuali menjalankan administrasi rutin pemerintahan dan memberi reaksi masalah yang tiba-tiba saja.

Kini, kita pun disibukkan dengan masalah yang sama. Partai politik dan capres telah menentukan strategi "koalisi" mereka masing¬-masing. Mereka memilih teman berkoalisi berdasarkan pertimbangan diraihnya sintemen-sintemen politik, etnik, keagamaan. 

Tampaknya, tak penting ada program bersama antara dua partai dan koalisi. Melainkan bagaimana memenangkan suara terbanyak pemilih untuk mencapai singgasana kekuasaan. 

Keanggotaan partai sekarang, belum mengenal  kader kecuali mungkin yang menjadi pengurus dan “orang dekat” pimpinan partai. 

Pengurus dan pendukung sebuah partai di daerah, juga kebanyakan hanya sebagai pemain latar yang terbentuk karena konflik elite partai di tingkat pusat, atau pendukung figur tertentu untuk kepentingan semusim pemilihan. 

Akan menjadi apa kebijakan partai itu bagi konstituennya di masa datang, belum terpikirkan. Jangan berbicara dulu tentang ideologi partai yang bersinergi dengan aspirasi mayoritas pendukungnya. Itu belum terpikirkan. 

Berbeda di AS, setahu saya Partai Demokrat, target ideologisnya jelas yaitu cenderung menjanjikan berperannya pemerintah nasional dalam perekonomian, anti-trust atau kebijakan antimonopoli, program partai menjanjikan untuk membela orang miskin dan minoritas, dukungan bagi kaum buruh. 

Partai Republik antara lain, cenderung menjanjikan pengurangan peran pemerintah nasional di dalam perekonomian, pengurangan program sosial, peningkatan otonomi pemerintah negara bagian dan lokal, program yang cenderung berpihak kepada kepentingan pebisnis besar. 

Jelas, partai punya pilihan kebijakan dan ideologi yang dikenal secara meluas oleh calon pemilih. Berdasarkan program tersebut, konstituen menetapkan pilihan, partai mana yang sesuai aspirasi politiknya. 

Di Indonesia hal tersebut belum ada, partai mana yang dipilih, hanya untuk kepentingan sesaat dan jangka pendek. Konstituen partai ditakdirkan tidak menjadi siapa-siapa dan secara ideologis mendukung apa?

Kecuali menunggu kursi legislatif, bupati, gubernur, dan jabatan apa saja kelak sebagai imbalan. Selama perilaku elite partai menganggap power sharing hanya dalam arti fisik, anggota koalisi duduk membagi-bagi kekuasaan dalam arti apa adanya. 

Selama itu, power sharing hanya seperti "dagang sapi", apa yang harus saya balas dari yang Anda berikan. Bukan berbagi kekuasaan dalam tradisi pemerintahan demokrasi. 

Bukan power sharing yang sebenarnya, untuk sama-sama memperkuat sumber daya yang dimiliki dalam membuat program yang maslahat bagi rakyat. Jika ini terus yang terjadi, maka para elite di negeri ini kembali hanya akan membangun koalisi yang rapuh. 

Sebentar partai berkoalisi ke sini sebentar ke sana, seperti pendulum, mana yang menguntungkan. Mereka tidak memikirkan dan bekerja untuk kepentingan masyarakat dan rakyat yang telah memberikan mandat. 

Rakyat yang ramai-ramai tergiur ikut dalam bursa “dagang sapi” dan berhura-hura, tetap saja hanya sebagai pecundang. Akankah  kita akan mengulang sejarah yang sama?

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement