REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, M Noor Alfian Choir
Media Singapura The Strait Times dalam artikelnya yang dipublikasikan pada Kamis (1/6/2023) menyoroti hubungan antara Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang memburuk. Hal ini dipicu pemilihan pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) PDIP yang tidak melibatkan Jokowi sama sekali.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, pun menilai naik-turunnya hubungan Jokowi-Megawati ini bukan pertama kalinya, melainkan sudah beberapa kali terjadi. Ujang pun membandingkan Jokowi yang lebih banyak mendapat sorotan maupun kritikan dari PDIP dibandingkan partai-partai koalisi lainnya.
"Saya melihat ya hubungan inilah yang membuat Jokowi itu tidak nyaman, gestur Jokowi ketika misalkan ada di tengah-tengah acara PDIP seperti tidak terlalu nyaman, tidak bagus, tidak baik-baik saja, beda ketika Jokowi hadir di partai-partai lain itu nyaman tetapi dengan PDIP sendiri tidak," ujar Ujang kepada Republika.co.id, Senin (5/6/2023).
Ujang membeberkan hubungan Jokowi, Megawati dan PDIP yang naik turun mulai dari penolakan keras terhadap suara Jokowi 3 periode, penolakan Timnas Israel yang berujung pada gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 hingga terbaru soal diabaikannya cawapres usulan Jokowi.
"Ya mungkin Megawati atau PDIP tidak mau diinterventasi oleh Jokowi. Karena Jokowi dianggapnya sebagai petugas partai oleh Megawati, jadi soal bacapres atau bacawapres PDIP ya tentu yang menentukan adalah Megawati bukan Jokowi atau yang lainnya," ujarnya.
Untuk itu, Ujang pun memprediksi panas dinginnya hubungan Jokowi-Megawati akan terus berlangsung hingga Pilpres 2024 maupun setelahnya. Ini lantaran baik Jokowi dan Megawati memiliki kepentingan masing-masing di Pilpres 2024.
"Jadi saya melihatnya akan terus berlanjut karena Jokowi punya kepentingan terkait cawapres yang diajukan, sedangkan PDIP juga punya kepentingan capres yang didorongnya dan belum tentu sama yang didukung Jokowi dan didukung Megawati," ujarnya.
Namun demikian, Ujang menilai hal ini biasa dalam politik. Karena itu dibutuhkan pendekatan maupun lobi-lobi antara kedua belah pihak.
"Kalau soal yang diuntungkan dirugikan ya tentu semuanya merasa dirugikan baik Megawati merasa dirugikan karena Jokowi dianggap banyak intervensi , banyak cawe-cawe soal cawapres, terus Jokowi merasa dirugikan juga karena memang tidak didengar sarannya, masukannya sebagai Presiden, tetapi dia juga bukan ketum partai bukan penentu," ujarnya.