Kamis 01 Jun 2023 08:52 WIB

Bencana Peraturan Presiden untuk Pasir Laut 

Berbagai pertanyaan harus dijawab dan dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo.

Foto udara pasir timbul Ngurtavur, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, Selasa (25/10/2022). Ngurtavur adalah pasir timbul yang muncul setiap terjadi air laut surut jauh atau warga setempat menyebutnya meti, sehingga berbentuk seperti pulau kecil yang dijadikan persinggahan burung pelikan dari Australia dan juga objek wisata terkenal di Maluku Tenggara.
Foto: ANTARA/FB Anggoro
Foto udara pasir timbul Ngurtavur, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, Selasa (25/10/2022). Ngurtavur adalah pasir timbul yang muncul setiap terjadi air laut surut jauh atau warga setempat menyebutnya meti, sehingga berbentuk seperti pulau kecil yang dijadikan persinggahan burung pelikan dari Australia dan juga objek wisata terkenal di Maluku Tenggara.

Oleh : Ridho Rahmadi, PhD (Ketua Umum Partai Ummat)

REPUBLIKA.CO.ID, Pada tanggal 15 Mei 2023, Presiden Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah (atau PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Di Laut. Menurut Presiden, PP ini dibuat dalam rangka menyehatkan laut dengan cara mengambil sedimen yang berupa pasir laut, dan mengangkutnya keluar. 

Yang menjadi masalah adalah Pasal 9 ayat 2(d) di dalam PP ini, memperbolehkan pasir laut tersebut dijual ke luar negeri. Padahal ekspor pasir laut telah dilarang di Indonesia sejak 20 tahun yang lalu, oleh Presiden Megawati, mempertimbangkan dampak lingkungan yang teramat bahaya. 

Baca Juga

Mendatangkan Bencana

Penambangan pasir laut mengubah kontur dasar laut yang kemudian akan mempengaruhi arus dan gelombang laut. Hal tersebut dapat mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil yang sudah terdampak parah akibat aktivitas penambangan lainnya ataupun karena perubahan iklim. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ada tren kenaikan air laut dari 0,8 hingga 1 meter. 

Dari data yang dikumpulkan oleh Ketua Bidang Lingkungan Hidup & Reforma Agraria Partai Ummat, Pulau Nipa di Kota Batam hampir tenggelam walau dapat diselamatkan oleh reklamasi. Selain itu di Kabupaten Karimun ada Pulau Kundur yang semakin tergerus karena penambangan pasir darat. Lahan bekas galian di sana tidak ditutup sehingga menjadi empang dan danau-danau kecil. 

Di pulau Moro terjadi sedimentasi pada pesisir pantai karena penambangan pasir darat. Kondisi yang parah juga terjadi pada Pulau Sebaik. Di sana terjadi sedimentasi pada mangrove akibat pembukaan lahan untuk sarana pelabuhan pendaratan pasir dan penurunan hasil tangkap perikanan. 

Kalau laut pasang, pulau sudah tenggelam. Sedangkan di Kabupaten Lingga ada Pulau Baruk yang terancam tenggelam akibat pengaruh dari aktivitas pertambangan batu besi. Selain itu laut di perairan Baruk juga tercemar lumpur bekas cucian batu besi. Selain dampak lingkungan, penambangan pasir laut pada pulau-pulau kecil di wilayah terluar Indonesia bisa saja mengganggu kedaulatan negara kita, karena tergerusnya bibir pantai akibat ekspor pasir laut dapat kemudian menggeser batas negara.

Krisis Pangan & Langka Tangkapan

Penambangan pasir laut akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Hal ini dapat memicu dua macam krisis, yang akan menimpa masyarakat di pesisiran khususnya. Mereka akan menjadi korban yang paling utama. Pertama, krisis pangan dapat terjadi karena sulitnya mencari sumber gizi dan makanan dari laut di sekitar yang telah rusak karena penambangan pasir laut. 

Kedua, krisis tangkapan akan terjadi karena kelangkaan ikan dan komoditas laut lainnya. Mayoritas masyarakat pesisir adalah nelayan kecil tradisional yang menggantungkan hidupnya dari tangkapan di laut. 

Gabungan kedua krisis ini menyebabkan perut yang lapar dan ekonomi yang mati, dan akan dengan sangat mudah memicu konflik horizontal. Pada 7 Maret 2020, sekelompok masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, membakar kapal sebagai bentuk penolakan terhadap eksploitasi pasir laut. Pada April 2022, sekelompok nelayan dari Desa Suka Damai, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, Riau, berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo, agar mencabut izin perusahaan penambang pasir.

Untuk Dijawab Pak Presiden 

Berbagai pertanyaan harus dijawab dan dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo kepada kita semua, yang sangat prihatin dengan pengesahan PP ini. Pertama, mengapa Presiden Joko Widodo malah mengesahkan PP yang jelas dapat menimbulkan bencana lingkungan tersebut? Ekspor pasir laut telah dilarang sejak 20-an tahun yang lalu karena dampaknya yang sangat berbahaya. 

Jika memang sedimentasi di laut yang disoal, mengapa tidak dilakukan saja upaya-upaya untuk menghentikan atau minimal mengurangi hal-hal yang menyebabkan sedimentasi tersebut? Umpama, seperti penambangan di daratan. Kedua, mengapa Pak Presiden tidak memikirkan pulau-pulau kecil yang terancam tenggelam karena ekspor pasir laut tersebut? Turun-temurun masyarakat pesisir telah mendiami pulau-pulau tersebut. Bukankah tinggal di bumi pertiwi kita ini, adalah juga hak konstitusional mereka? 

Ketiga, mengapa Presiden Joko Widodo tidak memikirkan keberlanjutan hidup dan ekonomi masyarakat pesisir yang sebagian besar adalah nelayan kecil tradisional? Jika tidak ada lagi ikan untuk dijala, bagaimana mereka akan makan? Bagaimana pula mereka akan menyambung hidup? Apakah kita tidak takut dengan kemungkinan konflik horizontal besar yang bisa saja terjadi? Keempat, mengapa Pak Presiden tidak mendengarkan aspirasi dari sekelompok nelayan kecil yang telah berkirim surat di Bengkalis sana? Apakah ada yang lebih penting dari kepentingan rakyat? Kalau ada, lalu kepentingan siapa itu? Kepentingan orang per orang kah? Kepentingan kelompok kah? Jangan sampai kemudian rakyat nanti menyimpulkan Pak Presiden sedang main mata dengan konglomerat. 

Belum hilang ketakutan sebagian besar masyarakat Indonesia dengan Perpu Cipta Kerja dan revisi UU Minerba yang menggelar karpet merah untuk eksploitasi tambang di daratan, kini PP Nomor 26 tahun 2023 malah membuka jalan untuk eksploitasi pasir di lautan. Kelima, apakah kedaulatan negara yang merupakan amanah UUD 1945 tidak menjadi konsen seorang Presiden Joko Widodo? Ekspor pasir laut bisa saja menggeser batas republik ini karena tergerusnya bibir pantai atau bahkan menghilangkan batas tersebut karena tenggelamnya pulau-pulau terluar di Indonesia. 

Bukankah Presiden Indonesia disumpah untuk menjaga kedaulatan negara yang kita cintai ini? Keenam, mengapa ekspor pasir laut yang akan berdampak negatif terhadap lingkungan ini malah menjadi antitesis dari KTT G20 di Bali kemarin? Acara tersebut telah menelan APBN lebih dari 600 miliar rupiah, dan melahirkan G20 Bali Leaders’ Declaration, yang pada poin nomor 15 dengan terang mengatakan akan melakukan upaya bersama untuk langkah-langkah penyelamatan kehidupan di pesisir dan lautan. 

Mengapa Indonesia yang menjadi tuan rumah malah menjadi yang pertama lupa akan deklarasi tersebut? Jangan sampai rakyat menjadi berprasangka bahwa G20 kemarin hanya proyek mercusuar yang kosong, yang menghabiskan biaya luar biasa besar namun hampir-hampir tidak berfaedah. Kiranya enam pertanyaan inilah yang menggelayuti pikiran-pikiran masyarakat Indonesia, setelah disahkannya PP Nomor 26 Tahun 2023 pada 15 Mei kemarin. Untuk itu, Kepada Yang Terhormat Presiden Joko Widodo, kami semua tunggu jawabannya segera.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement