REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR, Fadli Zon, menganggap pentingnya perlindungan data digital. Menurut dia, konsekuensi dari perkembangan dunia digital adalah ancaman kebocoran data sehingga menimbulkan kesempatan dan tantangan sekaligus.
Meski sudah banyak piranti dan upaya melindungi data pribadi, dia melanjutkan, isu peretasan dan pola kejahatan baru masih bisa terjadi. Seiring dengan kemajuan teknologi banyak informasi yang dibagikan, kata Fadli, semakin besar kemungkinan data digital terancam.
Padahal, privasi data digital adalah hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan dikutip dalam Piagam PBB.
"Setiap orang memiliki hak untuk tidak diganggu atau diserang dalam kehidupan pribadi maupun keluarga. Hal ini juga mencakup hak memiliki kontrol penuh atas data pribadi untuk menentukan bagaimana data dibagikan atau digunakan. Meski memiliki data, kita tetap tidak bisa sembarangan membagikan data," ujar Fadli dalam siaran di Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Fadli menilai, hal terpenting yang harus menjadi perhatian pemilik data adalah hati-hati dalam merilis data pribadi. Pada era digital yang semakin maju, kata dia, menjaga privasi sangat penting adalah dengan memilah hal apa saja yang layak untuk dibagikan. Pentingnya perlindungan data pribadi pun merupakan hak setiap warga negara dan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
"Pelaku kejahatan siber dapat dijerat hukum, sebagaimana yang diatur dalam UU ITE Pasal 28 (1) dan Pasal 45A Ayat 1," kata Fadil di webinar Ngobrol Bareng Legislator bertema 'Pentingnya Perlindungan Data Pribadi di Era Digital'.
Praktisi hukum Rachmanda Primayuda menyampaikan, sebagai pengguna internet, setiap orang perlu memahami literatur digital. Dengan demikian, mereka mengetahui lima aspek keamanan digital, yang terdiri atas kemanan diri di ruang digital, perlindungan perangkat digital, perlindungan identitas, menghindari penipuan, dan tantangan keamanan.
"Untuk membangun rasa aman dan nyaman dalam ruang digital, kita harus mengetahui alat ukur kecakapan digital terlebih dahulu," ucap Rachmanda. Tak hanya itu, dia melanjutkan, melindungi perangkat digital dari ancaman malware atau perangkat lucak yang dirancang khusus untuk mengontrol perangkat lain secara diam-diam, juga perlu dilakukan.
Akademisi Yusup Rahman Hakim mengatakan, fenomena ancaman di dunia maya berkaitan dengan perspektif peperangan. Dia mengutip William S Lind dalam teori The Generation of Warfare, yaitu ada lima generasi peperangan. "Dan saat ini kita berada pada peperangan generasi keempat, yaitu peperangan nonkonvensional yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi," katanya.