Selasa 02 May 2023 19:44 WIB

Pemerintah Perlu Kaji Pekerja Informal dalam UU Ciptaker

UU Ciptaker lebih banyak bicara pekerja formal ketimbang pekerja informal.

Sejumlah buruh saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (1/5/2023). Aksi yang dilakukan dalam rangka peringatan Hari Buruh memberikan sejumlah tuntutan diantaranya meminta pemerintah untuk mencabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker, cabut parliamentary threshold 4 persen dan Presidential threshold 20 persen, sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga, tolak RUU Kesehatan, Reforma Agraria dan kedaulatan pangan serta hapus outsourcing tolak upah murah.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah buruh saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (1/5/2023). Aksi yang dilakukan dalam rangka peringatan Hari Buruh memberikan sejumlah tuntutan diantaranya meminta pemerintah untuk mencabut Omnibus Law UU No 6 Tahun 2023 tentang Ciptaker, cabut parliamentary threshold 4 persen dan Presidential threshold 20 persen, sahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga, tolak RUU Kesehatan, Reforma Agraria dan kedaulatan pangan serta hapus outsourcing tolak upah murah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjudin Nur Effendi menyatakanpemerintah perlu mengkaji aturan serta hak-hak pekerja informal dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).

Yang dimaksud sebagai pekerja informal, yakni pekerja yang memiliki fleksibilitas tinggi, seperti driver ojek online serta pekerja yang bergerak di bidang teknologi informasi (IT).

Baca Juga

"UU Ciptaker ini cenderung mengatur pekerja formal, jadi sebenarnya belakangan ini di Indonesia berkembang pekerjaan yang punya fleksibilitas, nah itu cukup banyak di Indonesia. Contohnya ojek online. Dan banyak juga banyak pekerja-pekerja bebas lainnya yang berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi," kata Tadjudin, di Jakarta, Selasa (2/5/2023).

Tadjudin berpendapat, UU Cipta Kerja perlu dikaji kembali untuk menambahkan jenis pekerjaan informal tersebut, agar para pekerja informal dapat terlindungi serta terpenuhi hak-haknya.

"Jadi UU Ciptaker harus memasukkan pekerja-pekerja fleksibilitas tersebut, contohnya orang-orang IT yang kemarin mengalami kerugian karena perang Ukraina, mereka banyak yang kena PHK," ujarnya pula.

Merespons hal tersebut, Sekretaris Ditjen PHI dan Jamsos Kemnaker RI Surya Lukita mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah mengkaji jenis pekerjaan informal.

Surya menjelaskan bahwa jenis pekerjaan informal, atau pekerja platform telah lama menjadi perhatian Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), namun saat ini masih dalam proses pengkajian lebih lanjut.

"Tapi itu sudah jadi concern kami memang bahkan sejak UU Cipta Kerja yang baru, sebelum diterbitkan pun sudah kami adakan dialog-dialog dengan teman-teman ojek dan perusahaan penyedia, memang di G20, di level dunia ya ini juga dibahas bagaimana kita melindungi pekerja yang bekerja di platform digital," kata Surya.

Menurutnya, yang menjadi tantangan saat ini bagi para pekerja informal, atau pekerja platform yakni status mereka yang biasanya bukan sebagai karyawan melainkan hanya mitra dari perusahaan terkait.

Oleh karena itu, perumusan peraturan bagi para pekerja informal berbeda dengan pekerja formal yang dapat disamaratakan pada semua sektor.

"Jadi dialognya, musyawarah nasionalnya cukup panjang, kalau yang informal pelan-pelan, targeted, berbeda dengan formal ya karena bisa diatur semua pekerja di sektor formal. Kalau informal ini mau nggak mau targeted karena kondisinya cukup variatif," ujarnya pula.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement