Rabu 03 May 2023 10:31 WIB

Cuaca Panas Ekstrem, 'Neraka Bocor'?

Cuaca panas menjadi kian ekstrem dan lebih sering terjadi.

 Seorang pria memercikkan air ke wajahnya untuk mendinginkan diri saat cuaca panas di kawasan Universitas Dhaka di Dhaka, Bangladesh, Senin (17/4/2023).
Foto: EPA-EFE/MONIRUL ALAM
Seorang pria memercikkan air ke wajahnya untuk mendinginkan diri saat cuaca panas di kawasan Universitas Dhaka di Dhaka, Bangladesh, Senin (17/4/2023).

Oleh : Nora Azizah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Cuaca di Indonesia akhir-akhir ini sangat panas. Terik matahari sudah dimulai sejak jam 10 pagi. Begitu keluar rumah, udara panas langsung menyengat.

Anehnya, cuaca panas yang dirasakan di Indonesia seperti berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Udara hingga sengatan sinar matahari seolah jauh lebih tajam daripada sebelumnya.

Benarkah, 'neraka bocor' di Asia? Apa sebenarnya yang terjadi pada bumi?

Mengutip penjelasan Asia News, tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara juga sedang mengalami gelombang panas, khususnya pada April 2023. Bahkan, suhu panas tahun ini diklaim sebagai yang terpanas yang pernah terjadi selama beberapa dekade terakhir.

Berdasarkan data BMKG, suhu terpanas di Indonesia pada gelombang panas kali ini mencapai 37,2 derajat Celsius. Apabila penduduk Indonesia sudah merasakan suhu panas yang ada saat ini sudah super panas, tetapi ternyata tidak.

Myanmar menjadi negara di Asia yang ternyata memiliki suhu paling panas, yakni mencapai 45 derajat Celsius. Menyusul Thailand dan India di angka 44 derajat Celsius.

Kemudian, Laos dan Vietnam di suhu 42 derajat Celsius. Jadi, jangan cengeng bestie, suhu panas di Indonesia belum ada apa-apanya dibandingkan negara tetangga yang lain.

Meski begitu, cuaca panas saat ini cukup membuat masyarakat khawatir, khususnya ketika akan beraktivitas di luar ruangan. Bagaimana tidak, gelombang panas kerap disebut-sebut 'mematikan'. Sebelumnya, tercatat 13 orang meninggal dunia di India karena sengatan panas setelah menghadiri sebuah upacara.

Namun, berdasarkan penjelasan BMKG, meski cuaca di Indonesia sangat panas, ternyata tetap tidak masuk dalam kategori gelombang panas. Hal ini karena merujuk pada karakteristik pengamatan suhu.

Suhu panas yang terjadi di Indonesia ternyata merupakan fenomena akibat adanya gerak semu matahari. Situasi ini merupakan sebuah siklus, dan wajar terjadi setiap tahun.

Gelombang panas yang saat ini terjadi di seluruh dunia ternyata memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perubahan iklim disebut sebagai penyebab utama gelombang panas, baik parah hingga ekstrem.

Bahkan, cuaca panas yang sebelumnya diprediksi sejak ratusan tahun lalu ternyata kemungkinan bisa lebih cepat terjadi karena tingkat pemanasan global yang ada saat ini. Jadi, krisis iklim yang diisukan sejak lama ini memang benar terjadi dan memengaruhi cuaca.

Para pakar iklim menyimpulkan, tren pemanasan global yang terus terjadi saat ini sangat berkontribusi terhadap cuaca panas. Itu sebabnya, cuaca panas ekstrem yang mengakibatkan suhu panas kian tinggi berpeluang lebih sering terjadi.

Cuaca panas ekstrem yang terjadi saat ini tidak hanya mengancam kehidupan manusia secara pribadi. Gelombang panas juga menjadi ancaman serius bagi industri, di antaranya energi dan pertanian.

Ironisnya, tercatat sebanyak 6.500 orang meninggal dunia akibat cuaca panas di India. Saat gelombang panas di Jepang pada 2018, 138 orang meninggal dunia, dan 70 ribu orang mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Faktanya, cuaca panas ekstrem yang terjadi saat ini diakibatkan adanya perubahan iklim. Dan, penyebab perubahan iklim terbesar saat ini adalah sampah plastik. Kenapa bisa?

Singkat cerita, banyak jurnal ilmiah yang sudah bisa dibaca tentang betapa jahatnya sampah plastik yang merusak lingkungan. Hal yang paling ditakutkan adalah ketika sampah-sampah plastik yang kini memenuhi lautan berubah menjadi mikroplastik.

Mikroplastik menjadi tidak terlihat karena ukurannya yang sangat kecil. Sampah-sampah ini kemudian termakan dan mencekik hewan laut.

Padahal, lautan menjadi penyerap karbon terbesar. Sekitar 70 persen permukaan bumi adalah lautan yang secara otomatis menjadi penyeimbang bumi untuk terus menjaga iklim. Ketika lautan dipenuhi sampah plastik dan memengaruhi kehidupan di laut, maka tidak heran apabila saat ini perubahan iklim kian terasa.

Jadi, jangan mengeluh ketika cuaca kian panas menyengat. Semua terjadi karena ulah manusia yang tidak ingat untuk menjaga lingkungan.

Pikirkan kembali ketika belanja dan menggunakan kantong plastik. Bisa jadi sampah plastik yang berasal dari bungkus permen kita, gelas kopi kita, atau pembungkus sayur kita bisa berada di lautan dan merusak kehidupan laut.

Jika terus seperti ini, mungkin panasnya bumi suatu saat memang seperti 'neraka bocor'. Pikirkan pula anak cucu kita nanti yang akan hidup di planet dengan krisis iklim.

Dunia bisa hancur karena ulah manusia itu sendiri. Padahal, semua ini sebenarnya bisa dihindari apabila manusia memang peduli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement