Jumat 31 Mar 2023 11:24 WIB

Dampak Positif Internet Bisa untuk Belajar Agama

Peneliti ingatkan proses belajar agama di dunia maya agar selamat dunia dan akhirat.

Sejumlah santri dipandu guru agama belajar Alquran melalui komputer yang terhubung internet di Desa Yosorejo, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (ilustrasi).
Foto: Antara/Harviyan Perdana Putra
Sejumlah santri dipandu guru agama belajar Alquran melalui komputer yang terhubung internet di Desa Yosorejo, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR, Fadhullah mengatakan, pada zaman kemajuan teknologi informasi, banyak hal dapat dilakukan salah satunya belajar melalui dunia maya. "Belajar bisa lewat Youtube, Instagram, dan lainnya. Perlu diingat kita harus memperhatikan etika dalam berkomunikasi dan menggunakan teknologi tersebut," katanya di webinar bertema 'Belajar Agama di Dunia Maya' di Jakarta pada Kamis (30/3/2023).

Menurut Fadhullah, setidaknya ada empat dampak positif internet untuk belajar agama. Di antaranya, akses yang sangat luas untuk belajar agama baik dalam negeri maupun luar negeri, dapat melihat atau menonton langsung kajian agama, dapat membaca atau mengunduh langsung sumber kajian agama serta dapat melakukan konsultasi agama secara online.

Peneliti Asia-Japan Research Institute, Riza Nurdin, menuturkan, ada empat panduan belajar agama di dunia maya yaitu menggunakan internet sebagai wasilah mengamalkan hadits, selektif dalam memilih sumber, tetap memiliki guru di dunia nyata, serta meningkatkan literasi digital. "Literasi digital merupakan kecakapan penting yang harus dipenuhi dalam proses belajar agama di dunia maya agar selamat di dunia dan akhirat," jelasnya.

Sementara itu, efek radikalisme tetap harus diwaspadai terlebih konten-konten tersebut banyak beredar di dunia maya. Berdasarkan data BNPY 2021, 12,2 persen masyarakat Indoneisa berpotensi terpapar radikalisme. Kemenkominfo juga telah memblokir 21.330 konten radikalisme terorisme sejak 2017 hingga 2021 lalu. 

Selain radikalisme, waspadai ujaran kebencian dan hoaks. Hanya 32 persen responden penduduk Indonesia yang merasa yakin atau pun sangat yakin dapat mengidentifikasi hoaks. Mayoritas menganggap bahwa keberadaan berita atau informasi yang salah/ tidak sesuai fakta/hoaks merupakan permasalahan serius.

Setidaknya 12 persen responden mengaku pernah menyebarkan berita hoaks. Mereka mayoritas beralasan hanya meneruskan berita yang sudah tersebar (tanpa memikirkan hoaks atau bukan). Sebagian besar responden (45 persen) juga tidak tahu bahwa berita tersebut ternyata hoaks.

Aktivis dan jurnalis Andi Firdhaus, menjelaskan, hal yang harus dilakukan saat belajar di dunia maya adalah menghindari isu SARA, filter broadcast, dan menghindari bullying.  "Mengapa demikian? karena belajar agama bisa kapan saja dan dimana saja tanpa terbatas ruang dan waktu sehinggar wajib disaring. Karena ada beberapa sisi negatif seperti konten mesesatkan, kaderisasi salah serta adanya konten propaganda," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement