Rabu 22 Mar 2023 04:05 WIB

Sesak Nafas Hingga Kuku Lepas, Sekilas Derita Warga di Jalur Tengkorak

"Debu batubara masuk ke tempat tinggal saya lebih parah dibanding asap jalanan.”

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Mansyur Faqih
Sejumlah bocah dengan mengenakan masker bermain di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Si Pitung, kawasan Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, Selasa (15/3/2022). Forum Masyarakat Rusunawa Marunda dan sekitarnya (F-MRM) menyatakan bahwa saat ini di lingkungan tempat tinggal mereka sedang mengalami pencemaran lingkungan debu batu bara dalam bentuk flying ash bottom ash (FABA) atau debu yang terbawa angin berasal dari bongkar muat batu bara di Pelabuhan Marunda, Jakarta Utara.
Foto:

Kendala pemeriksaan yang dialami para warga itu membuat penyakit dan keluhan ISPA maupun kulit di Jakarta Utara kurang disorot. Padahal, jika mengacu kepada sumber polutan transportasi, asap, dan pencemaran dari industri maupun debu batubara, seharusnya membuat Jakarta Utara menjadi salah satu daerah paling tinggi penderita pernapasan dan lainnya.

Dokter spesialis patologi anatomi RS Dharmais, Evlina Suzanna, mengamini dampak debu batubara terhadap kesehatan. Menurut dia, berbagai dampak dari aktivitas bongkar muat maupun pertambangan tidak bisa dihindari bagi warga dengan radius tertentu. 

Evlina mempertanyakan data atau laporan yang dihimpun Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang hingga kini masih nihil. Dia merasa aneh jika tidak ada yang dilakukan Dinas Kesehatan DKI terhadap warga terdampak. “Partikel atau kepadatan debu itu berbeda, bisa berdampak ke mana-mana,” tutur Evlina.

Mengutip temuan Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat, paparan debu batubara terhadap manusia bisa melalui penghirupan, pencernaan, dan penyerapan melalui kulit. Dengan berbagai cara tersebut, debu batubara bisa menimbulkan penyakit paru, termasuk silikosis, COPD, dan penyakit lainnya.

Awak media sempat mendatangi Puskesmas Cilincing. Namun demikian, permintaan data penyakit rerata warga sekitar ditolak dan dialihkan ke Dinas Kesehatan DKI. Saat mencoba konfirmasi lebih jauh, Dinkes DKI maupun Sudin Kesehatan Jakarta Utara hingga kini belum memberikan komentar.

Meski demikian, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta, Widyastuti, sempat mengatakan, tingkat pencemaran yang merugikan memang berdampak nyata pada pernapasan warga. Namun, dia menegaskan, jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan penyakit pernapasan lainnya di DKI sudah sesuai standar.

"Sejauh ini jumlahnya terkendali, dan itu menjadi patokan kami, terutama untuk anak-anak,” kata Widyastuti.

Ditanya data daerah dan jumlah pasien pernapasan di DKI selain Covid-19, pihaknya belum bisa memastikan. Alasannya, kata dia, perlu kajian lebih mendalam. Menurut Widyastuti, pemantauan masih berdasarkan kunjungan ke rumah sakit dan puskesmas.

"Terkait penderita, kita lihat menurut kelompok geografis. Selama ini sebaran penderita pernapasan di setiap wilayah DKI relatif sama," jelasnya.

Memang sejak dibangun pada masa pemerintahan Fauzi Bowo pada 2008 lalu, Rusun Marunda dan kawasan ini seakan dihindari masyarakat Jakarta. Bukan hanya karena polusi, tapi kekhawatiran lalu lintas dan sulitnya akses yang dikenal warga sekitar sebagai Jalur Tengkorak (Cilincing-Marunda). Pada akhirnya, para warga gusuran era gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang kini tinggal di sana. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement