REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan betapa berbahayanya modus tindak pidana tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang muncul. KemenPPPA menemukan modus TPPO lewat cara pernikahan.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, KemenPPPA Priyadi Santoso menyebut modus ini cenderung menyasar perempuan yang ingin memperoleh jodoh di luar negeri. Para korban beranggapan dapat memperbaiki hidup dengan cara menikahi warga luar negeri.
"Ditawari dikawinkan tentu dengan orang sana (luar negeri) ya modusnya," kata Priyadi dalam Media Talk bertajuk "Indonesia Siaga Tindak Pidana Perdagangan Orang" pada Jumat (17/3/2023).
Walau demikian, harapan tinggi korban tak sesuai realita. Para korban justru sebenarnya menjadi korban TPPO saat menginjakkan kaki di luar negeri. Parahnya lagi, korban diperlakukan layaknya budak dengan berstatus sebagai pasangan si warga luar negeri.
"Karena sudah dinikahi mereka tidak bisa menuntut gaji. Mereka seperti dikendalikannya," ujar Priyadi.
KemenPPPA mengamati para korban terjebak rayuan TPPO karena dianggap mudahnya bekerja di luar negeri. Mereka juga diimingi kesejahteraan hidup. Padahal janji itu cenderung berakhir nestapa bagi korban.
"Dikasih janji palsu biasanya untuk bekerja di luar negeri. Digampang-gampangin dimudahin berangkat ke luar negeri padahal itu jebakan," ujar Priyadi.
Merujuk data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), pada Oktober 2022 tercatat sebanyak 2.356 korban TPPO yang dilaporkan dimana 50,97 persennya anak-anak dan 46,14 persennya perempuan. Terkait modus operandi sindikat TPPO, saat ini paling tinggi adalah melalui media sosial dan peranti elektronik yang digunakan sebagai alat untuk menjerat para korbannya.
Hal ini lantaran, permintaan dari luar negeri yang menginginkan tenaga perempuan. Mereka nantinya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT), yang mana tak butuh tingkat pendidikan tinggi.
"Perempuan dominan (korban TPPO) karena kerjanya jadi PRT, tingkat pendidikan rendah. Di luar negeri nggak butuh pendidikan tinggi tapi skill yang bisa dimanipulasi oleh oknum seolah sudah lewati banyak pelatihan," ungkap Priyadi.
Atas dasar itulah, KemenPPPA mengimbau supaya masyarakat tak terjebak rayuan TPPO dengan berbagai modusnya. KemenPPPA merekomendasikan masyarakat mencari informasi bekerja di luar negeri dari sumber resmi. Mereka juga diharapkan bersuara ketika mendapati kasus dugaan TPPO guna menghindari jatuhnya korban.
"Makanya itu perlunya kita gali-gali informasi supaya tidak kena (TPPO). Gali info ke Disnaker daerah, minta klarifikasi juga," ucap Priyadi.