Sedangkan Lurah Rajabasa Jaya Sumarno mengatakan, insiden tersebut hanya miskomunikasi kedua belah pihak. Sebenarnya, pihak jemaat diberi batas waktu Maret 2023 untuk membuat izin lingkungan. Gedung ini (gereja) pernah dipakai, setelah itu dikunci lagi, tetapi sejak Februari 2023 dipakai lagi untuk ibadat.
“Tetapi proses izinnya tidak dikerjakan. Mereka memaksa memakai tempat ini untuk ibadat,” kata Lurah Rajabasa Jaya Sumarno saat ditemui Republika.
Menurut dia, pihak pemerintah dan pamong setempat tidak melarang aktivitas ibadat jemaat GKKD asalkan sesuai dengan peraturan yang ada. “Bukannya kami melarang tapi karena izinnya belum ada untuk sementara untuk tidak digunakan dulu,” kata Sumarno.
Sumarno mengatakan, sejak dulu pihak jemaat GKKD belum pernah mengajukan izin. Pada 2014 memang pernah ada pengajuan izin, akan tetapi berdasarkan argumen dan pernyataan warga bukan minta izin untuk rumah ibadah tapi sebatas berkaitan dengan pemilihan anggota legislatif dengan meminta tanda tangan.
Warga sekitar melarang dan tidak mengizinkan gedung/rumah tinggal itu dijadikan gereja karena penduduk sekitarnya mayoritas Muslim. Sedangkan, mayoritas jemaat GKKD ini berasal dari luar lingkungan mereka atau pendatang.
Marlena (48 tahun), ibu rumah tangga di Jl Anggrek, mengatakan mayoritas di lingkungan tempat tinggalnya muslim, dan bisa dihitung kalau ada warga nonmuslim. “Artinya, tidak mungkin ada gereja, kalau warganya banyak muslim,” tuturnya.
Menurut dia, keberadaan rumah tinggal dijadikan gereja untuk jemaat beribadat sudah menjadi biasa. Padahal, jemaatnya berasal dari luar lingkungan tempat tinggal tersebut, dan dinilai mengganggu aktivitas warga yang Muslim di lingkungan tersebut.
“Kalau memang mayoritas warganya nonmuslim, silakan dirikan gereja, tidak masalah,” ujar ibu tiga anak tersebut.