Senin 13 Mar 2023 16:12 WIB

SVB Bangkrut, Analis Beda Pendapat Soal Dampaknya Terhadap Indonesia

Silicon Valley Bank, bank andalan perusahaan teknologi dan rintisan di AS bangkrut.

Petugas Polisi Santa Clara keluar dari Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, Jumat, 10 Maret 2023. Federal Deposit Insurance Corporation menyita aset Silicon Valley Bank, menandai kegagalan bank terbesar sejak Washington Mutual selama puncak 2008 krisis keuangan. FDIC memerintahkan penutupan Silicon Valley Bank dan segera mengambil semua simpanan di bank pada hari Jumat.
Foto:

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan, kegagalan Silicon Valley Bank (SVB) Financial Group tentunya memiliki dampak sistemik. Diperkirakan, setelah kejatuhan SVB akan diikuti bank-bank lain yang memiliki hubungan erat dengan SVB.

Kegagalan dramatis bank induk SVB di AS yang berfokus pada perusahaan rintisan teknologi itu merupakan yang terbesar sejak krisis keuangan 2008. Setelah SVB bangkrut, para pelaku pasar mewaspadai tanda-tanda penularan di sektor keuangan. Bank yang berfokus pada perusahaan startup ini mengungkapkan rencana untuk menghentikan operasi dan melikuidasi secara sukarela.

"Melihat ukuran SVB yang besar, menjadi tempat simpanan dana skala besar dan sekaligus menjadi pemberi kredit utama ke startup, menurut saya sangat mungkin krisis SVB ini akan menyebar menjadi krisis keuangan global," kata Yusuf kepada Republika, Senin (13/3/2023).

Yusuf memandang pemerintah Indonesia pun perlu bersiaga setelah SVB bangkrut. Meskipun, saat ini kondisi keuangan di Indonesia cukup stabil.

"Menurut saya, otoritas Indonesia perlu bersiaga. Meski kondisi perbankan dan sektor keuangan kita saat ini cukup stabil, namun beberapa kegagalan bayar korporasi, dengan yang terakhir kasus gagal bayar obligasi Waskita Karya, menjadi sinyal yang harus sangat diwaspadai," ujarnya.

Akademisi dari Universitas Indonesia itu mengatakan, kegagalan bayar oleh korporasi besar akan berpotensi sistemik ke perbankan. Terlebih, perbankan di Indonesia saat ini juga memegang obligasi pemerintah dalam jumlah besar.

"Meski hingga kini pertumbuhan ekonomi kita masih stabil dan salah satu yang terbaik di dunia, namun resiko dari pengetatan likuiditas global pasca kebangkrutan SVB terhadap perekonomian domestik tidak bisa diabaikan," tutur Yusuf.

Diketahui, saham SVB sudah dihentikan pada Jumat lalu. Sedangkan saham bank menengah AS lainnya semakin rugi besar akhir-akhir ini. Indeks bank regional S&P 500 turun 4,3 persen, membawa kerugiannya pekan ini menjadi 18 persen atau terburuk sejak 2009. Lalu berbagai bank AS telah kehilangan 100 miliar dolar AS lebih nilai pasar saham dalam dua hari. Sementara beberapa bank Eropa kehilangan sekitar 50 miliar dolar AS.

 

Kepala Riset Noex Investindao Ariston Tjendra meyakini, krisis yang dialami Silicon Valley Bank tidak akan merembet ke Indonesia. Menurutnya, pasar keuangan domestik aman dari dampak kebangkrutan bank yang menjadi andalan para startup dunia tersebut. 

"Melihat perkembangan terakhir kelihatannya tidak mengganggu pasar keuangan Indonesia," kata Ariston Tjendra kepada Republika, Senin. 

Menurut Ariston, regulator perbankan AS telah mengambil langkah menjamin seluruh deposit nasabah SVB. Langkah tersebut diyakini akan membatasi risiko sistemik ke sistem keuangan AS.

Di sisi lain, lanjut Ariston, pasar keuangan Indonesia justru akan mendapatkan angin segar dari The Federal Reserve. Pelaku pasar memperkirakan Bank Sentral AS tersebut tidak akan menaikkan suku bunga acuannya dengan agresif karena kejadian bank bangkrut ini.

"Sehingga hal ini akan mendorong penguatan rupiah," kata Ariston.

Peneliti CORE Indonesia Yusuf Rendy Manile menilai, terdapat perbedaan mendasar yang menjadi penyebab kerugian yang dialami SVB saat ini dengan dengan krisis pada 2008.  "Kalau kita lihat dari kasus Bank SVB saat ini karena lebih banyak membiayai perusahaan teknologi dan saya kira ada juga faktor dari miss management dari bank itu sendiri," ujarnya kepada Republika, Ahad  (12/3/2023).

Sementara pada kasus subprime mortage 2008 lebih banyak disebabkan oleh tidak lancarnya pembayaran dari pembiayaan perumahan di AS. Bahkan, yang memperparah keadaan saat itu adalah banyaknya dana yang ditempatkan pada instrumen investasi yang berisiko tinggi dan berkaitan antara pasar keuangan global. 

"Sehingga kita ingat ketika itu dampaknya relatif lebih global," tuturnya.

Yusuf melanjutkan, untuk saat ini, dampak yang mungkin akan dialami global bahkan di Indonesia menurutnya lebih ke pasar keuangan secara sentimen, karena kekhawatiran dari kolapsnya SVB akan melebar di AS. Namun kalau dilihat kondisi saat ini sebenarnya respon pasar terhadap kasus ini belum terlihat begitu besar.

"Saya kira pengaruhnya ke pasar keuangan, terutama pengaruh sifatnya destruktif,  ke Amerika Serikat relatif kecil," tuturnya.

 

photo
Surat Berharga Syariah Negara SR018 - (Tim infografis Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement