REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira B, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri, Flori Sidebang, Fauziah Mursid
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk tidak begitu saja memercayai keterangan dari mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Rafael Alun Sambodo. KPK diminta untuk melanjutkan pendalaman terhadap harta kekayaan Rafael apakah sesuai dengan yang dilaporkannya.
"Terlalu prematur menyimpulkan, baru sekali dilakukan klarifikasi, ingat kepemilikan tidak harus formil ada namanya di BPKB/STNK bisa saja atas nama orang lain, pengalaman saya nyita aset ya kebanyakan atas nama orang lain namun secara sah milik tersangka, jadi perdalam saja dulu," kata mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, kepada Republika, Kamis (2/3/2023).
Yudi mengatakan, pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Rafael baru tahap klarifikasi pertama. Pemeriksa nantinya akan mencari dokumen-dokumen keterangan lainnya yang bisa membuktikan harta yang tertera di dalam laporan sekitar Rp 56 milar milik Rafael.
"Tentu itu harus diperdalam ya. Kalau secara formil Rubicon sebenarnya punya dari Rafael atau punya kakaknya atau sebenarnya ya memang punya dari Rafael," katanya.
Menurutnya, hal tersebut bisa dilihat dari pemakaian Rubicon itu sendiri. Sebab, masalah Runcion adalah salah satu yang menjadi perhatian publik sehingga harus secara luas diketahui.
"Itu bisa dilihat dari bagaimana dan ditangan siapa Rubicon digunakan, dipinjamkan ke Mario Dandy dengan alasannya apa, tentu banyak hal yang bisa diperdalam atau Rubicon itu belinya di mana, sama siapa dan bagaimana," kata dia.
Sementara itu mengenai indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada kasus Rafael, menurut Yudi masih belum terlihat. Sebab masalah ini kompleks dengan harta kekayaan yang besar.
"Apakah ada indikasi TPPU, saya pikir ini masih jauh ya. Masih prematur masih belum bisa menyimpulkan apapun, karena ini kan kompleks dari begitu banyak hartanya Rp 56 miliar di LHKPN," katanya.
Ia mengatakan bahwa pemeriksaan Rafael di KPK tidak hanya harta yang ada di LHKPN. Namun juga berdasarkan informasi-informasi dari masyarakat. Sedangkan untuk bisa terjadi TPPU, masih dalam proses pencegahan.
"Kalau harta tidak wajar kan perlu dicari, tindak korupsinya apa, kasus terkaitnya apa yang busa diklasifikasikan dengan tindak pidana korupsi yang mana diduga dia memiliki aset-aset tersebut," kata Yudi.
Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menyayangkan KPK yang tidak menindaklanjuti laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2012 terkait dugaan pencucian uang Rafael.
"Jika mencermati laporan PPATK kepada para aparat penegak hukum termasuk KPK sejak 2012, harusnya KPK segera merespon dengan melakukan klarifikasi dan pemeriksaan," ujar Didik lewat keterangannya, Kamis (2/3/2023).
Ia meyakini, bahwa laporan PPATK tersebut memiliki dasar dan fakta yang kuat terhadap dugaan tersebut. Untuk itu, dia mendorong komisi antirasuah itu memberantas korupsi di lingkungan pejabat.
In Picture: Penampakan Gerbang Rumah Mewah Milik Eks Pejabat Ditjen Pajak
Selain itu, ia mengusulkan adanya pendalaman pemeriksaan terhadap para pejabat-pejabat di Dirjen Pajak. Mengingat masih adanya potensi pelaporan LHKPN yang kurang terbuka.
"Juga didalami tentang kemungkinan adanya transaksi signifikan yang tidak sesuai dengan profil para pejabat. Dan juga kemungkinan menggunakan pihak-pihak yang patut diduga sebagai nominee atau perantara," ujar Didik.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mengatakan, KPK bisa memproses hukum LHKPN tidak wajar pejabat jika ditemukan tindak pidana. Zaenur mengatakan, jika KPK menemukan tindak pidana dari LHKPN yang dilaporkan maka bisa menyerahkannya kepada Deputi Penindakan KPK untuk dimulai pro justicia.
"KPK ketika mengklarifikasi LHKPN itu menemukan adanya tindak pidana maka dari direktorat LHKPN atau Deputi Pencegahan KPK bisa menyerahkannya kepada Deputi Penindakan untuk dimulai proses pro justicia misalnya didahului dengan penyelidikan," ujar Zaenur, Kamis.
Namun demikian, kata Zaenur, proses itu tidak pernah dilakukan hingga saat ini. Ini karena untuk menuju proses hukum LHKPN maka KPK perlu penggalian informasi, pengumpulan data dilakukan pencocokan yang ditujukan untuk memastikan kebenaran informasi LHKPN.
Selain itu, KPK memerlukan alat bukti yang cukup untuk bisa memproses hukum temuan tersebut.
"Ini akan sangat sulit ya, karena kan harus mencari pidana apa yang pernah dilakukan. Nah mencari pidana apa yang dilakukan itu kan berbasis alat bukti, alat bukti apa yang dimiliki oleh KPK untuk memastikan apakah ada pidana atau tidak yang dilakukan oleh RAT ini," ujarnya.
Karena itu, untuk masalah Rafael Alun Trisambodo saat ini, kata Zaenur, KPK harus mendapatkan alat bukti cukup agar dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh RAT bisa untuk pro justicia.
"Nah mencari pidana apa yang dilakukan itu kan berbasis alat bukti, alat bukti apa yang dimiliki oleh KPK untuk memastikan apakah ada pidana atau tidak yang dilakukan oleh RAT ini," ujarnya.