REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan segera menggarap pengembangan teknologi nuklir untuk aplikasi medis, terutama terapi kanker, sebab Indonesia masih kekurangan fasilitas tersebut. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan fasilitas nuklir hanya bisa diakses orang-orang kaya lantaran harganya sangat mahal.
"Kalau kami yang menyediakan itu jadi murah," ujarnya di Jakarta, Jumat (24/2/2023).
Handoko menuturkan BRIN punya sumber daya untuk fasilitas tersebut mulai dari lahan kawasan nuklir hingga tenaga operator. Menurutnya, BRIN sudah menyiapkan fasilitas khusus medis di kawasan nuklir Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
Fasilitas itu bersifat sharing resource agar setiap rumah sakit perlu memiliki proton terapi yang harganya bisa mencapai Rp 1 triliun, serta pasien juga tidak perlu membayar hingga Rp 600 juta untuk setiap paket terapi.
"Kami ingin kasus proton terapi itu bisa sampai Rp50 juta, sehingga bisa masuk BPJS, sehingga lebih banyak masyarakat Indonesia yang bisa mengakses itu," kata Handoko.
"Kalau orang kaya ya sudah kaya (bisa membayar terapi yang harganya mahal), tapi kalau pasien kurang mampu meninggal dunia, maka anak anak mereka bisa terlantar. Fokus kami ke sana," imbuhnya.
BRIN memusatkan riset nuklir di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Selama kurun waktu dua tahun ke depan, BRIN fokus terhadap riset dan inovasi yang mencakup bidang pangan, medis, serta lingkungan hidup. Selain pengembangan nuklir untuk kanker, BRIN juga menggarap riset dan inovasi mengenai satelit penginderaan jauh lantaran Indonesia sangat bergantung dengan teknologi itu untuk melihat bencana, kebakaran hutan, zonasi ikan di laut, memeriksa tumpahan minyak, pencurian ikan oleh kapal asing, melihat hutan, dan sebagainya.
Handoko mengungkapkan Indonesia saat ini masih membeli fasilitas citra satelit tersebut dengan menghabiskan dana ratusan miliar Rupiah setiap tahun."Melalui BRIN itu belinya untuk semua kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Daripada kita beli menghabiskan ratusan miliar setiap tahun, lebih baik kita punya satelit sendiri," pungkasnya.