REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Badan Pangan Nasional (NFA) resmi menaikkan harga acuan gabah dan beras melalui penerapan fleksibilitas harga. Namun, petani menilai besaran kenaikan itu belum ideal.
Dalam keputusannya, NFA menetapkan fleksibilitas harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar 8,33 persen, dengan batas bawah Rp 4.200 per kilogram dan batas atas Rp 4.550 per kilogram. Sementara fleksibilitas harga GKP di penggilingan ditetapkan 9,41 persen, dengan batas bawah Rp 4.250 per kilogram dan batas atas Rp 4.650 per kilogram.
Untuk gabah kering giling (GKG), harga batas bawah di penggilingan ditetapkan sebesar Rp 5.250 per kilogram dan batas atas Rp 5.700 per kilogram, atau dengan fleksibilitas 8,57 persen.
Menanggapi keputusan tersebut, Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Sutatang, mengaku menyambut positif adanya kenaikan tersebut. Namun, dia menilai besaran angka kenaikan itu belum ideal.
"Untuk GKP di tingkat petani, harapannya harga batas bawahnya Rp 5.000 per kilogram dan batas atasnya bagusnya Rp 5.500 per kilogram," katanya kepada Republika, Rabu (22/2/2023).
Sutatang menjelaskan, saat ini semua komponen biaya produksi mengalami kenaikan seperti ongkos tenaga kerja, pupuk maupun pestisida. Khusus untuk pupuk, Sutatang merinci, petani hanya memperoleh alokasi pupuk subsidi sebanyak 375 kilogram per hektare. Terdiri dari dari Urea sebanyak 250 kilogram dan Phonska 125 kilogram.
Padahal, lanjut Sutatang, untuk pemupukan lahan seluas satu hektare, dibutuhkan pupuk sebanyak 500 kilogram (Urea dan Phonska). Karenanya, untuk menutupi kekurangannya yang mencapai 125 kilogram, petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal.
Untuk pupuk subsidi, harga eceran tertinggi (HET) untuk Urea senilai Rp 2.250 per kilogram dan untuk pupuk NPK sebesar Rp 2.300 per kilogram. Sedangkan pupuk nonsubsidi, untuk urea harganya mencapai Rp 10 ribu per kilogram dan Phonska (NPK) seharga Rp 14 ribu per kilogram.