REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Stasiun Manggarai belakangan banyak dikeluhkan oleh publik, khususnya penumpang KRL Commuter Line seiring dengan dijadikannya sebagai stasiun sentral atau transit. Sejumlah pengguna KRL atau dikenal dengan sebutan anker alias anak kereta banyak mengeluhkan sistem transit di stasiun tersebut.
Hal itu menjadi faktor bagi mereka untuk memilih transportasi lain, baik masih di ranah transportasi umum maupun transportasi pribadi. Aji (28 tahun), salah satu anker mengatakan, kondisi Stasiun Manggarai sangat padat, terutama pada jam sibuk (rush hour) saat berangkat dan pulang kerja.
Dia mengakui, kondisi itu membuat dirinya lebih penat saat melintas atau transit di stasiun tersebut. Hal itu karena Stasiun Manggarai menjadi terkesan lebih padat dibandingkan sebelum perubahan rute.
"Sekarang lebih padat dan ramai. Karena kan masing-masing satu jalur. Orang dari Bogor ke Tanah Abang transit dulu. Orang dari Bekasi juga transit dulu. Tumpukan itu terjadi karena transitnya," kata Aji saat ditemui Republika.co.id di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, Selasa (21/2/2023).
Aji menggunakan KRL dari Stasiun Depok dengan tujuan Stasiun Sudirman. Kereta yang digunakan kerapkali jurusan Bogor-Manggarai, lalu transit di Stasiun Manggarai dan pindah ke peron lain dengan jurusan kereta ke Tanah Abang.
Rute tersebut berbeda dibandingkan sebelum revitalisasi Stasiun Manggarai menjadi stasiun transit, yakni hanya sekali menggunakan kereta dengan jurusan Bogor-Tanah Abang. Dia mengakui, perubahan kebijakan itu membuatnya lebih lelah karena harus pindah dari satu peron ke peron yang lainnya.
Terlebih kondisinya sangat padat sehingga berdesakan dengan pengguna KRL lainnya. Aji pun menyebut kini hanya sesekali saja menggunakan KRL, selebihnya dia memilih menggunakan transportasi pribadi.
"Lebih lelah (karena sistem transit). Kalau dulu setiap hari naik kereta, sekarang cuma sepekan sekali atau dua kali saja, selebihnya bawa kendaraan sendiri. Tergantung mood," ungkapnya.
Senada, keluhan yang sama diungkapkan oleh pengguna KRL lainnya, yakni Sheren (23 tahun). Perempuan yang merupakan warga Nambo, Kabupaten Bogor tersebut sering menggunakan KRL jurusan Nambo ke Angke. Namun, saat ini ia dipaksa harus transit terlebih dahulu di Stasiun Manggarai.
"Dulu enggak transit, langsung ke Angke, kalau sekarang transit. Lebih bikin capek. Nunggunya bisa setengah jam karena kereta jurusan dari dan ke Nambo setahu saya sedikit," kata Sheren.
Setidaknya butuh waktu sekitar dua jam perjalanan untuk sampai ke tempat kerjanya. Kondisi itu menyebabkan Sheren menjadi sering memilih transportasi lain, yakni Bus Mayasari Bakti. "Karena sistem transit ini jadinya saya prefer (lebih memilih) naik Bus Mayasari. Karena waktunya bisa lebih cepat, sekitar satu jam," ujarnya.
Dia mengaku, saat ini hanya sesekali naik KRL jika tidak terlalu membutuhkan waktu yang cepat. Di samping itu juga, ia masih mempertimbangkan masalah tarif KRL yang lebih murah dibandingkan dengan bus. Tarif bus, kata dia, yakni Rp 20 ribu sekali jalan, sementara KRL hanya Rp 5 ribu.
"Harapan saya pengennya sih enggak usah ada transit di Stasiun Manggarai ya, kayak dulu. Jadi bisa menghemat energi dan waktu," ucap Sheren.
Pantauan Republika.co.id, Selasa (21/2/2023), pada saat jam sibuk yakni pukul 17.00 WIB hingga 19.00 WIB, kepadatan tampak terjadi di Stasiun Manggarai. Sebagian pengguna KRL berlarian saat turun dari KRL menuju ke peron lain untuk melanjutkan perjalanan.
Antrean pun terlihat di berbagai titik, baik di tangga, eskalator, maupun saat pengguna KRL hendak masuk ke kereta. Kondisi berdesakan juga tak terelakkan. Menurut pengakuan salah satu petugas di Stasiun Manggarai, di setiap hari selalu ada pengguna KRL yang pingsan. Setidaknya ada tiga orang yang pingsan, saban hari.