Jumat 03 Feb 2023 15:56 WIB

Din Syamsuddin Imbau MK Soal Dugaan Perubahan Redaksi Putusan

Din pun menyinggung sikap MK atas judicial review yang pernah dilakukan Muhammadiyah.

Din Syamsuddin
Foto: Republika/Muhyiddin
Din Syamsuddin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan perubahan redaksi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini terus menuai sorotan. Menurut Prof Din Syamsuddin, MK merupakan benteng teratas dan terakhir penegakan hukum di Indonesia.

Seandainya tuduhan bahwa MK mengubah putusannya sendiri terbukti, lanjut dia, hal itu adalah nestapa penegakan hukum di Tanah Air. Mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu pun mengaku, dirinya telah lama hilang kepercayaan terhadap institusi tersebut.

Baca Juga

"Keputusan MK tentang gugatan terhadap hasil Pilpres 2019 mengusik rasa keadilan karena bukti-bukti pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif tidak didalami, apalagi dalam konteks sifat Pemilu/Pilpres jujur dan adil. Meninggalnya 700-an petugas TPS juga tidak dijadikan pertimbangan," ujar Din Syamsuddin dalam keterangan yang diterima Republika, Jumat (3/2/2023).

Pemrakarsa gerakan Jihad Konstitusi itu pun menyinggung sikap MK terhadap permohonan judicial review oleh PP Muhammadiyah silam, yakni terhadap tiga undang-undang.

Menurut Din, Persyarikatan Muhammadiyah saat itu menilai, UU Nomor 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, serta UU Nomor 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing merugikan negara.

Namun, MK saat itu tampak "memanipulasi" adanya judicial review tersebut. "Dikatakan dimanipulasi karena pendaftaran judicial review ketiga undang-undang tersebut pada 2014 dinyatakan kemudian oleh pihak MK tidak ada atau tidak terdaftar, sehingga tidak dibahas," ucapnya.

Padahal, sambung Din, Tim Advokat PP Muhammadiyah waktu itu telah melakukan pendaftaran di loket MK. Ketua MK ketika itu, Prof Arief Hidayat disebutnya telah menyilakan tim tersebut pada hari pendaftaran untuk menggelar konferensi pers di sebuah ruangan Gedung MK. Namun, sekitar setahun kemudian Arief menyampaikan kepada Din bahwa pendaftaran gugatan itu tidak ada.

Beberapa waktu usai mendaftarkan gugatan, tim PP Muhammadiyah beraudiensi kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, dalam rangka mengabarkan Muktamar Muhammadiyah 2015. Kesempatan itu digunakan Din untuk pula memberi tahu perihal gugatan atas ketiga UU tersebut.

"Presiden Joko Widodo yang menerima kami dengan seragam militer mengatakan, 'Tapi gugatan terhadap ketiga undang-undang tersebut tidak tepat waktu.' Pernyataan tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah melakukan intervensi terhadap penegakan hukum.

Terbukti kemudian, MK tidak cukup mandiri dengan tidak memproses gugatan PP Muhammadiyah dan bahkan berbohong dengan mengatakan, tidak ada pendaftaran gugatan tersebut," tutur Din.

Berkaca pada pengalaman tersebut, mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu berharap seluruh hakim MK dapat selalu menjaga integritas. "Tidak hubbud dunya wa karahiyyatul maut (cinta dunia dan takut mati). Mereka menyadari ada Hakim Tertinggi (Ahkamul Hakimin) di Hari Pembalasan nanti," tutupnya.

Beberapa waktu lalu, seorang pengacara Zico Leonard Djagardo Simanjuntak berencana melaporkan MK ke kepolisian atas dugaan adanya perubahan petikan putusan antara yang dibacakan hakim MK di ruang sidang dengan yang ada di salinan putusan. 

Penggugat perkara nomor 103/PUU-XX/2022 itu menduga, ada individu hakim MK yang mengganti substansi itu sebelum disiarkan via website MK. "Jadi mengubah 'dengan demikian' menjadi 'ke depannya', dan risalah sidang, bukan di putusan doang. Berarti kan ini sengaja kalau di risalahnya pun berubah. Jadi setelah sidang itu langsung diganti itu, sebelum dipublikasi," kata Zico, dalam berita tersebut.

Adapun gugatan yang dimohonkan Zico adalah uji materi UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal itu pun berkaitan dengan pencopotan hakim konstitusi Aswanto yang dilakukan oleh DPR pada akhir September 2022 lalu. Posisi yang ditinggalkan Aswanto diisi Guntur Hamzah, yang sebelumnya menjabat sekretaris jenderal MK.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement