Senin 30 Jan 2023 23:54 WIB

RUU Pengawasan Obat dan Makanan Serta Kemandirian BPOM

Kemandirian BPOM bisa terbentuk bila memiliki undang-undang sendiri

Petugas BPOM memeriksa tanggal kadaluwarsa dan kandungan kimia bahan makanan yang dijual di pasar Banda Aceh, Indonesia.Agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengawasan Obat dan Makanan serta Kemandirian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bergulir sejak akhir 2018 di DPR RI kembali mengemuka, usai tragedi keracunan obat sirop merenggut ratusan nyawa.
Foto:

Perbandingan

Sebagai perbandingan, perlu dilihat bagaimana negara lain mengatur dan melakukan pengawasan obat dan makanan. Seperti yang dilakukan oleh Food Standards Australia New Zealand/FSANZ (Australia), Ministry of Food and Drug Safety/MFDS (Korea Selatan), Pharmaceuticals and Medical Devices Agency/PMDA (Jepang), dan Saudi Food and drug Authority/Saudi-FDA (Arab Saudi).

Dari keempat negara tersebut, MFDS Korea Selatan merupakan otoritas regulator nasional yang dinilai dapat digunakan sebagai acuan dalam penguatan kelembagaan BPOM, seperti dari segi tugas, fungsi, dan peran dalam melakukan pengawasan terhadap obat, alat kesehatan, produk biologi, kosmetik, obat herbal, obat kuasi, dan makanan yang meliputi produk pertanian, peternakan, serta perikanan.

MFDS juga berperan penting dalam mengawasi keamanan pangan dari hulu ke hilir, penambahan kewenangan Criminal Investigation Office (CIO) untuk menyelidiki dan menindak setiap pelanggaran hukum yang terjadi terhadap komoditi yang diawasi, serta berperan penting dalam memajukan sektor industri di bidang farmasi.

Kelembagaan MFDS diatur dalam National Government Organization Act serta diperkuat dengan undang-undang yang mengatur kewenangan untuk mengawasi mutu dan keamanan pangan, urusan kefarmasian, produk kosmetik, hingga alat medis.

MFDS awalnya bertanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan, tapi dengan adanya restrukturisasi, MFDS menjadi lembaga setingkat kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri.

MFDS membagi peranan fungsi antara pusat dengan regional. Kantor pusat di Seoul berfungsi sebagai pembuat kebijakan dan pengembangan, sedangkan enam kantor regional di Seoul, Incheon, Busan, Daegu, Daejeon, Kwangju berfungsi dalam penegakan hukum, pengawasan dan surveilans, termasuk melakukan inspeksi ke perusahaan.

Otoritas regulasi dan pengawas di sejumlah negara lain, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, dan  Malaysia, terbagi atas dua entitas yang berbeda, agar muncul kejelasan dari penanggung jawab pemberi pelayanan dan produk yang sampai di masyarakat.

Perbandingan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam memperkuat kemandirian BPOM di Indonesia yang memiliki undang-undang sendiri, sama halnya dengan MFDS yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menterinya (kepala pemerintahan).

Keri Lestari menyebut, kemandirian BPOM justru menghadirkan tugas berat. Di satu sisi harus beradaptasi pada standar internasional, tapi di sisi lain dihadapkan pada tuntutan pelayanan dalam negeri yang sesekali memerlukan diskresi terhadap kondisi tertentu.

Contohnya, fleksibilitas pada perizinan obat herbal yang telah memenuhi bukti empiris karena sudah digunakan dalam jangka waktu yang lama di masyarakat, sehingga tidak perlu lagi uji toksisitas subkronik yang berbiaya besar serta waktu proses yang panjang.

Stigma tentang rumitnya sistem birokrasi yang ditempuh saat berhubungan dengan BPOM perlu diperbaiki melalui komunikasi publik yang lebih baik, seperti edukasi tentang pemenuhan prosedur persyaratan yang sesuai, sehingga lebih mempermudah serta mempercepat terbitnya izin.

Dukungan independensi diyakini semakin menguat manakala BPOM mampu menghadirkan performa layanan yang cepat bagi pemohon izin edar, juga jaminan keamanan produk bagi masyarakat umum. Sehingga kemandiriannya mendatangkan kemanfaatan besar bagi masyarakat terkait pengembangan obat dan makanan.

Guna mewujudkan kemandirian tersebut, BPOM juga perlu memastikan hadirnya ekosistem pendukung yang sesuai harapan para pemangku kepentingan. "Mungkin, kalau sekarang BPOM belum sesuai dengan harapan pemangku kepentingan, karena kemandiriannya belum penuh karena harus juga berkoordinasi dengan lembaga lain," katanya.

Sanksi hukum

Dalam satu kesempatan, Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengutarakan kerisauannya tentang keterbatasan wewenang penindakan hukum, salah satunya dalam hal pengungkapan kasus peredaran makanan ilegal yang melibatkan jejaring daring, di mana otoritas berwenang ada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI.

"Kelihatannya, kami tidak berdaya dengan daring. Hanya bisa takedown, mati satu, tumbuh lagi 1.000. Sanksi diberikan manakala ada koordinasi dari BPOM dengan Kominfo," katanya.

Tak jarang pula, segala bentuk penegakan hukum yang dikaitkan dengan produk obat dan makanan di Indonesia selalu memperoleh hukuman percobaan kepada pelaku. Sangat jauh dari hukuman 10 tahun penjara sesuai Pasal 196 UU Kesehatan.

Dengan meningkatnya tren kejahatan obat dan makanan setiap tahunnya, diperlukan pengaturan sanksi pidana sebagai efek jera, khususnya kepada pelaku kejahatan yang terbukti secara hukum melakukan kesengajaan dengan tujuan tertentu.

Dalam proses pengawasan produk obat dan makanan hingga sampai ke tangan konsumen diatur dalam ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), hingga cara pelayanan yang baik. Dibutuhkan integritas petugas terkait dalam mengawal kepatuhan sistem tertutup itu, sehingga kecil kemungkinan terjadi permasalahan.

Namun dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, hanya mengatur mengenai tenaga pengawas yang memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan, tidak mengatur secara jelas termasuk tenaga pengawas di bidang obat dan makanan pada jabatan fungsional, seperti, inspektur CPOB, inspektur CDOB, inspektur pangan, penyuluh keamanan pangan, dan evaluator.

Keri Lestari menilai dibutuhkan kepiawaian tim penyidik memilah faktor kesengajaan atau kelalaian dalam suatu kasus di masyarakat. Faktor kesengajaan perlu diganjar dengan sanksi yang berlipat kali lebih berat agar peristiwa serupa tidak terulang.

 

 

RUU Pengawasan Obat dan Makanan diharapkan dapat memperkuat posisi BPOM dalam menjalankan tugasnya, salah satunya melakukan pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan yang dilandasi payung hukum yang kuat dalam mewujudkan citra sebagai pelindung masyarakat. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement