Seperti diketahui, industri farmasi nasional memproduksi sekitar 90 persen dari total volume obat nasional dengan berbagai jenis tablet, sirop, injeksi, kapsul, inhalasi, dan berbagai produk obat lainnya. Tapi, kasus pencemaran obat hanya terjadi spesifik pada jenis sirop dan tidak terjadi pada semua jenis produk obat dari industri farmasi lainnya.
Data menunjukkan, sekitar 5 persen dari ragam obat sirop yang sempat beredar yang tercemar, dan kurang dari 2 persen dari total obat yang beredar yang tercemar. Sementara itu, lebih dari 94 persen obat sirop lainnya layak dan aman dikonsumsi.
Hal ini menunjukkan mayoritas sistem pengawasan kualitas produksi industri farmasi dan sistem pembinaan oleh BPOM secara mayoritas sudah berjalan baik, meski di sisi lain ada penyebab spesifik yang memunculkan permasalahan pada obat sirop.
Pada kasus masuknya bahan baku impor obat sirop berupa polyethylene glycol (PEG), propylene glycol (PG) maupun EG/DEG ke Indonesia, Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI) mensinyalir adanya pemalsuan bahan pelarut oleh oknum suplaier kimia yang mengganti bahan PG menjadi EG/DEG. Selain itu, hasil produksi sirop obat jadi, tidak diperiksa untuk kandungan EG/DEG-nya karena selama ini belum ada standar di dunia untuk pemeriksaan EG/DEG pada produk obat jadi.
Meski kasus tersebut masih dalam ranah penyelidikan hukum, BPOM berpandangan bahwa bahan-bahan tersebut, masuk ke dalam negeri sebagaimana bahan kimia umum lainnya untuk kebutuhan industri, seperti bahan baku cat, hingga pembersih radiator. Padahal, bahan baku tambahan dalam proses produksi obat sirop sudah semestinya dalam jangkauan pharmaceutical grade yang diawasi BPOM.
Untuk itu, pengawasan obat dan makanan masih memerlukan penguatan payung hukum berupa undang-undang, dan setiap kelembagaan yang diberikan tugas untuk melaksanakan pengawasan obat dan makanan memiliki independensi dan kewenangan yang kuat dalam melaksanakan tugasnya.
Keri Lestari yang juga Wakil Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia mendukung upaya penguatan kemandirian lembaga BPOM selama diikuti kemampuan menyesuaikan irama keperluan layanan masyarakat, seperti perizinan yang cepat, membuka peluang produk inovasi, dan birokrasi yang tidak kaku.
Kemampuan beradaptasi itu memperkuat citra BPOM sebagai pelindung masyarakat, bukan justru penghambat.
Kemandirian lembaga BPOM diharapkan juga mempertegas tanggung jawab hukum manakala timbul persoalan keamanan produk obat dan makanan di masyarakat, sehingga tidak terjadi saling lempar antarinstansi.