Jumat 27 Jan 2023 22:00 WIB

Pakar Tata Negara UNS Sebut Perppu Ciptaker Solusi Putusan MK

Lebih baik pemerintah berjalan, meski aturannya salah ketimbang tidak ada aturan.

Massa buruh bersama mahasiswa berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (21/5/2022).
Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Massa buruh bersama mahasiswa berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (21/5/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) mencuat di publik akhir-akhir ini. Pakar hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.

Artinya, sebatas hanya cara pembuatannya saja yang perlu diperbaiki, namun isinya dianggap perlu oleh negara. Riewanto menerangkan, jika saja Perppu Ciptaker yang sama seperti Omnibus Law tidak ada saat ini maka kinerja Presiden Jokowi dapat dianggap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Menurut dia, Perppu itu untuk memberikan kepastian pemerintah bisa bekerja berdasarkan hukum. "Kalau tidak ada maka abuse of power. Maka dalam persepektif hukum tata negara lebih baik pemerintah berjalan, meski aturannya salah ketimbang tidak ada aturan," ucap Riewanto pada webinar nasional Moya Institute bersama Narada Center dan ITB-Ahmad Dahlan di Jakarta, Jumat (27/1/2023).

MK pada 2020 memutuskan Unadang-Undang (UU) Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan. Presiden Jokowi pada akhir 2022, mengesahkan Perppu Ciptaker sebagai solusi lain berlakunya UU Ciptaker, yang saat ini sedang dalam pembahasan di parlemen. Perppu Ciptaker juga sebagai legitimasi pemerintah mengahadapi resesi global.

Menurut Rektor ITB-Ahmad, Dahlan Mukhaer Pakkanna, Perppu Ciptaker tujuannya masih sama, yaitu memperluas lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan menyasar masuknya investasi.

Meski begitu, Mukhaer menyoroti mengenai makna kegentingan memaksa sesuai UUD 1945 yang definisinya ditentukan Presiden Jokowi sehingga dapat dianggap menjadi subjektivitas mengesahkan Perppu Ciptaker.

Sedangkan Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas menuturkan, berdasarkan survei tingkat kepercayaan publik terhadap kemampuan Jokowi mampu membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi masih terbilang tinggi mencapai 75 persen. Oleh sebab itu berpengaruh pula pada tingkat kepuasan kinerja Presiden dalam kaitan mendukung terbitnya Perppu Ciptaker sebagai solusi mengatasi ancaman resesi global mencapai 60 persen.

Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyampaikan, masalah ciptaker memerlukan perhatian serius karena menyangkut hajat dan kepentingan publik yang mempengaruhi sektor perekonomian nasional.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement