REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka mengatakan, pembangunan Jalan Lingkar Tol Solo, Jawa Tengah, akan dimulai pada 2025. Hal ini menyusul kajian yang dilakukan pemerintah pusat.
"Saya sudah sampaikan ke Bu Eti, Bupati Sukoharjo, Bu Sri Mulyani, Bupati Klaten, ibu-ibu yang kemarin nyoto (makan soto) di Soto Gading sama Mbak Puan (Ketua DPR Puan Maharani), intinya kajiannya sudah ada, akan dibangun 2025," katanya di Solo, Jateng, Jumat (27/1/2023).
Ia mengatakan, sejauh ini baik Bupati Klaten maupun Bupati Sukoharjo belum menyetujui rencana pembangunan jalan lingkar timur-selatan Solo tersebut, terutama jika menggunakan sistem tol. Menurut dia, kedua kepala daerah tersebut menginginkan pembangunan jalan yang akan dilakukan menggunakan sistem nontol. Oleh karena itu, pendekatan masih dilakukan dengan kabupaten yang terkena dampak pembangunan jalan lingkar.
"Belum (belum setuju), tinggal berunding lagi. Kalau beliau-beliau pengennya nontol, tapi nanti kami perjuangkan untuk non tol. Ini kan masalah pembiayaan," katanya.
Meski demikian, ia memastikan keberadaan jalan lingkar tersebut akan memberikan dampak positif khususnya bagi masyarakat. "Baik jalan tol atau lingkar (non tol) sama, bukan hanya trafik lalu lintas, tetapi juga distribusi barang-barang. Pokoknya pengaruhnya besar," katanya.
Sebelumnya, Bupati Klaten Sri Mulyani, mengkhawatirkan jika proyek jalan lingkar tersebut akan memakan lebih banyak lahan sawah lestari. Apalagi, selama ini Klaten merupakan salah satu lumbung pangan nasional.
Ia mengatakan, selama ini proyek Jalan Tol Solo-Jogja sudah memakan banyak lahan sawah lestari. Khusus di wilayah Kabupaten Klaten, dari sekitar 500 hektare lahan yang digunakan untuk tol, 300 ha di antaranya merupakan lahan sawah lestari.
"Lahan pertanian hampir 300 ha yang kena dampak pembangunan tol. Ada wacana lingkar selatan agar pemerintah mengkaji dulu karena kita harus memikirkan ke depan, anak cucu," katanya.
Ia mengatakan, jika terealisasi maka proyek jalan lingkar tersebut akan memakan lahan sekitar 30 ha sawah.
"Nanti, Klaten tidak bisa mempertahankan kaitannya dengan lumbung pangan nasional. Tentunya, tanah kami akan berkurang, otomatis produksi akan berkurang," katanya.