Kamis 19 Jan 2023 20:31 WIB

Walhi Duga Angka Aliran Dana Kejahatan Lingkungan Jauh Lebih Besar dari Temuan PPATK

Walhi meminta pengungkapan aliran dana kejahatan lingkungan dilakukan terbuka

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana ketika diwawancarai wartawan sesuai acara Rakornas PPATK di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (19/1/2023). Ivan menjelaskan soal dana kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota partai politik.
Foto: Republika/Febryanto Adi Saputro
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana ketika diwawancarai wartawan sesuai acara Rakornas PPATK di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (19/1/2023). Ivan menjelaskan soal dana kejahatan lingkungan yang mengalir ke anggota partai politik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, memperkirakan, jumlah transaksi hasil kejahatan lingkungan atau green financial crime (GFC) ke anggota partai politik yang sebenarnya jauh lebih besar daripada yang ditemukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurut dia, ada transaksi-transaksi yang tidak dilakukan lewat perbankan akan jauh lebih besar.

"Saya berkeyakinan angka transaksinya itu sebenarnya akan jauh lebih besar dari Rp 1 triliun itu. Yang Rp 1 triliun itu yang sudah terjadi dan terdeteksi ya karena transaksinya melalui perbankan. Tapi transaksi-transaksi langsung yang tidak melalui perbankan menurut saya akan jauh lebih besar dari itu," ujar Zenzi kepada Republika, Kamis (19/1/2023).

Baca Juga

Zenzi melihat ada yang mengkhawatirkan di pemerintahan saat ini terkait penegakan hukum kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, terlebih saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja. Walhi mengidentifikasi, sejak 2015 ada sekitar 829 perusahaan yang melakukan pelanggaran ketentuan kehutanan, lingkungan hidup, dan tata ruang tapi tidak dilakukan penegakan hukum.

"Ketika satu kejahatan itu penegakan hukumnya tidak dilakukan, maka celah transaksional terhadap kejahatan itu terjadi di tahun politik," jelas Zenzi.

Dia menjelaskan, saat ini proses transaksional politik dengan kejahatan lingkungan sudah masuk ke fase ketiga. Dia mana, fase pertama terjadi di era Orde Baru dengan bentuk memisahkan rakyat dengan wilayahnya. Itu ditandai dengan penunjukkan kawasan hutan, kawasan konservasi, dan kemudian hutannya diberikan kepada perusahaan untuk diambil kayu-kayunya.

Fase kedua terjadi pascareformasi. Di mana proses transaksionalnya terjadi dalam bentuk penerbitan izin.

Dari sana, pihaknya sudah melakukan identifikasi, di tahun-tahun politik itu memang ada transaksi penerbitan izin yang biasanya dilakukan oleh pejawat untuk perusahaan-perusahaan tambang, perkebunan, dan lainnya.

"Sekarang itu masuk ke fase ketiga, di mana bukan hanya untuk perizinan transkasi itu dilakukan, tetapi juga untuk pemaafan terhadap kejahatan," terang Zenzi.

Terhadap semua itu, Walhi kita mendesak pemerintah untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan dan sumber daya alam dengan terang benderang. Apabila itu tidak dilakukan, perusahaan-perusahaan pelanggar kejahatan lingkungan dan sumber daya alam itu akan terus melakukan kejahatannya.

"Kedua, mereka juga akan menjadi ATM para elite politik di setiap tahun politik," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement