REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengungkap kasus perkosaan terhadap anak berusia 15 tahun yang berujung damai di Brebes. Proses perdamaian justru difasilitasi di rumah Kepala Desa setempat.
Berdasarkan informasi yang diterima KPPPA, proses damai antara keluarga korban dan keluarga enam terduga pelaku dilakukan melalui mediasi di rumah kepala desa. Surat damai yang dihasilkan dari mediasi tersebut, berisi perjanjian bahwa korban tidak akan melaporkan peristiwa tersebut ke Polisi, dan sebagai imbalannya korban mendapat sejumlah uang dari enam terduga pelaku.
"Namun demikian informasinya korban tidak menerima utuh dari jumlah dana yang telah disepakati," kata Bintang dalam keterangannya, Kamis (19/1).
Setelah mendapat laporan kasus di Brebes, KPPPA segera berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3KB) Kabupaten Brebes. Hal ini untuk memastikan agar kasusnya segera ditangani oleh Polisi.
"Dinas sudah melakukan advokasi kepada keluarga korban, namun tetap menolak untuk melaporkan ke polisi, karena menganggap sudah selesai dengan kesepakatan damai," ujar Bintang.
Bintang prihatin dengan penyelesaian kasus pemerkosaan yang berakhir damai setelah dimediasi oleh LSM. Ia menegaskan proses damai yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual menciderai rasa keadilan korban.
"Tidak ada kasus kekerasan seksual yang boleh diselesaikan secara damai dan tidak diproses secara hukum karena jelas bertentangan dengan Undang-Undang," tegas Bintang.
Pada UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 23 menegaskan tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak. Lima pelaku dalam kasus ini berusia anak.
Lebih lanjut, pada Pasal 76D UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jo Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak, bukanlah delik aduan, tetapi delik biasa.
"Berpedoman pada kedua UU Perlindungan Anak dan UU TPKS, polisi dapat memproses informasi adanya kasus kekerasan seksual terhadap Anak, tanpa harus menunggu adanya laporan dari pelapor atau korban kepada Polisi," ujar Bintang.