Kamis 19 Jan 2023 07:15 WIB

Medsos, Konten, dan Paradoks Kehidupan

Konten sangat berpengaruh pada perkembangan anak.

Ilustrasi Anak dan Media Sosial (Medsos)
Foto: Pixabay
Ilustrasi Anak dan Media Sosial (Medsos)

Oleh : Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa waktu lalu, seorang selebgram centang biru dengan 32,7 juta follower meminta maaf pada anaknya yang berusia lima bulan karena memboyong naik jetski tanpa safety kit. Ia minta maaf melalui media sosial.

"Maaf ya nak, parenting ibu memang tidak sehebat ibu-ibu yang lain," katanya. Tentu bukan sang anak yang ia harapkan membaca pesan tersebut.

Beberapa waktu lalu juga, seorang anggota girlband ngetwit suka makan nasi pada pakai sendok. Seorang selebgram centang biru berfollower 5,4 juta sengit mendebatnya. "Nasi padang enakan pakai tangan!"

Cukup familiar ya. Kamu tim yang mana? Dulu juga ada pertarungan sengit antara tim bubur diaduk atau tidak diaduk. Atau tim makan mie pakai sumpit atau garpu. Bangun tidur ku terus mandi atau bangun tidur ku terus makan?

Penting banget ya itu. Nasi padang pakai sendok atau tangan?

Lalu, ada pemuda 20 tahun di Bogor, yang seharusnya bisa dianugerahkan akal dan pemikiran panjang, tewas. Ia ditabrak truk yang ia hadang sendiri karena ikutan malaikat maut challenge di media sosial.

Ini bukan kasus pertama. Tahun 2021, sudah ada korban remaja yang tewas di Bekasi karena 'menantang malaikat maut' ini. Tujuan tindakannya karena mengharapkan viral.

Video yang paling greget mendapat likes dan comment paling banyak.

Ramai juga kemarin, seorang anak yang meminta para penonton menyawer ibunya yang mandi lumpur. Siaran langsung melalui media sosial. "Ibu saya tercinta akan mandi lumpur, ayo segera nonton, segera tonton," katanya.

Sang ibu tampak kebingungan, tapi ya mungkin ia berpikir itu satu-satunya cara termudah mendapatkan uang.

Tidak lupa, kasus dua remaja usia 17 tahun dan 14 tahun yang menculik anak 11 tahun di Makassar, lalu membunuhnya. Alasannya, karena ingin mendapat uang dari menjual organ dalam si anak. Usut punya usut, penawaran jual beli itu dia dapat dari internet.

Hanya dalam beberapa minggu, deretan kasus-kasus tidak masuk akal sudah bejibun. Hulu dan hilirnya dari media sosial dan internet. Anak-anak menjadi korban, dan bahkan jadi pelaku dari kasus-kasus kejahatan yang dulu mungkin dilakukan hanya oleh orang dewasa.

Aksi-aksi nyeleneh, yang bahkan sampai memakan nyawa semakin marak.

Ada apa dengan anak-anak?

Satu yang kita sadari bahwa tsunami konten itu memang menyesakkan dan bisa membunuh.

Semakin sulit mem-filter konten yang baik dan buruk. Konten bias lebih banyak bertebaran dimana-mana, menemukannya semudah menemukan sampah bungkus sedotan aqua gelas di lapangan.

Bukan sesuatu yang aneh lagi, konten yang baik tidak mendapat panggung. Konten buruk mudah sekali viral dan jadi konsumsi tak peduli umur.

Filter yang seharusnya diperankan orang tua juga tidak lagi terlihat nyata. Mudah sekali sekarang menemukan anak yang terlanjur kecanduan gawai.

Kita percaya bahwa konten sangat berpengaruh pada perkembangan anak, baik dari sisi kognitif hingga emosional. Tapi artikel yang menjabarkan dengan gamblang dampak buruk aktivitas bergawai, seakan tidak lagi laku.

Media jadi senjata yang mau tidak mau harus diakui telah melumpuhkan generasi bangsa. Konten merusak, tidak penting, dan sangat berbahaya bahkan sudah tidak lagi dianggap mengancam.

Anak-anak kemarin sore itu mana bisa mencerna dengan baik konten overstimulus yang datang layaknya banjir bandang. Mereka hanyut bahkan tanpa disadari.

Aksi kekerasan kini jadi refleks. Khilaf jadi alasan. Seakan daya pikirnya mudah sekali hilang. Marah sedikit langsung membanting barang, itu anak SMA. Bukan bayi. Bahkan mereka bisa membunuh, hanya untuk uang. Ini dilakukan remaja.

Kemana daya pikir mereka?

Tapi yah, kita tidak bisa lagi memerangi konten busuk hanya dengan kampanye untuk menjauhinya. Perang kini harus dilakukan dengan memviralkan konten-konten bergizi juga.

Genderang perang sudah ditabuhkan Republika sedari masa kelahirannya. Kami konsisten dan berupaya keras menyajikan berita berkualitas dengan asas dasar Islam.

Kami percaya Islam adalah muara kebaikan universal yang dibutuhkan dunia. Islam diciptakan untuk seluruh alam. Peradaban Islam sudah terbukti selama 1.400 tahun menyapu kebodohan, kemunafikan, kebiadaban yang bisa manusia lakukan.

Kami percaya, at the end of the day, dunya is always temporary.

Sebenarnya tidak sulit memagari diri dan keluarga dari konten-konten busuk. Mulai dengan filter diri sendiri dari konten bias yang bisa mengikis pola pikir. You can think, and refrain your self. You have the authority of your self. What to watch, what to see, what to believe.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement