Kamis 12 Jan 2023 18:15 WIB

Alasan Hakim Tolak Tuntutan Hukuman Mati Terhadap Benny Tjokro di Kasus Korupsi PT ASABRI

Benny divonis pidana nihil namun harus membayar uang pengganti Rp 5,7 triliun.

Terdakwa Benny Tjokrosaputro saat menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (12/1/2023). Majelis Hakim menjatuhkan vonis nihil kepada terdakwa mantan Komisaris PT Hanson International Tbk Benny Tjokro dalam kasus dugaan korupsi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asabri tahun 2012-2019 yang merugikan keuangan negara hingga Rp22,7 triliun. Vonis nihil tersebut lantaran terdakwa sudah mendapatkan vonis seumur hidup dalam kasus Jiwasraya. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Putusan majelis hakim yang membebaskan Benny Tjokro dari tuntutan hukuman mati sesuai dengan pleidoi yang terdakwa bacakan pada pertengahan November 2022 lalu. Benny dalam pleidoi atas tuntutan jaksa merasa tak seharusnya dituntut lebih berat ketimbang terdakwa lain dalam perkara yang sama. 

 

 

"Tuntutan ini jauh lebih berat dari tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum dalam perkara mantan Direktur PT ASABRI yang jelas-jelas memiliki kekuasaan dan wewenang untuk menentukan suatu transaksi," kata Benny Tjokro dalam persidangan pada 16 November 2022.

 

Benny mengklaim sudah memberikan keuntungan nyata kepada PT ASABRI. Sehingga ia merasa heran mengapa dirinya yang mesti menanggung kesalahan yang dilakukan oleh internal PT ASABRI. 

 

"Jaksa penuntut umum seolah-olah menutup mata atas keuntungan triliunan rupiah yang diterima oleh PT ASABRI dari transaksi yang dilakukan dengan saya," ujar Benny.

 

Selain itu, Benny menegaskan dirinya justru ketiban kesalahan yang dilakukan oleh direksi PT ASABRI dalam kasus korupsi itu. Sehingga, ia heran dengan tuntutan hukuman mati yang dialamatkan kepadanya. 

 

"(Saya) Justru dituntut atas dosa-dosa yang dilakukan oleh internal PT Asabri. Bahkan saya dituntut dengan pidana mati oleh jaksa penuntut umum," keluh Bentjok. 

 

Sebelumnya, JPU menuntut Benny dijatuhi hukuman mati atas dakwaan kesatu primer melakukan tindak pidana korupsi. Tuntutan ini dikarenakan JPU menilai Benny melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 

 

JPU juga menuntut Benny disanksi membayar uang pengganti Rp 5,7 triliun atas dakwaan kedua primer melakukan pencucian uang. Tuntutan ini dikarenakan JPU menilai Benny melanggar Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). 

 

Kasus korupsi PT ASABRI ini bermula dari kongkalikong antara manajemen lama perusahaan dengan sejumlah pihak luar ASABRI terkait penempatan investasi dana perusahaan. Pihak luar itu salah satunya adalah Benny Tjokro. Kasus rasuah ini dinilai jaksa mengakibatkan kerugian negara dengan total Rp 22,7 triliun.

 

Perbedaan pendapat 

 

Dalam pertimbangan putusan terhadap Benny, satu anggota majelis hakim Pengadilan Tipikor tidak sepakat dengan nilai kerugian negara dalam perkara tersebut. Dalam surat tuntutan disebutkan nilai kerugian negara adalah sebesar Rp22.788.566.482.083 sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Nomor: 07/LHP/XXI/05/2021 tanggal 17 Mei 2021.

"Menurut anggota majelis tidak dapat meyakini kebenarannya dalam kajian terkait metode penghitungan jumlah kerugian uang negara dengan investasi surat berharga, saham, dan reksadana di PT ASABRI dan menjadi beban kepada terdakwa dalam bentuk uang pengganti karena ketidaktepatan dan tidak konsistennya dalam perhitungannya atau tidak nyata dan pasti," kata anggota majelis Mulyono Dwi Priyanto.

Menurut Hakim Tipikor Ad-hoc Mulyono, nilai kerugian negara tersebut dihitung berdasarkan nilai surat berharga berupa saham dan reksadana pesanan yang masih ada dan menjadi milik PT ASABRI dengan harga yang bergerak secara dinamis.

"Tetapi, tidak dihitung saat cut-off audit oleh auditor yang tertuang dalam LHP BPK dan ahli di persidangan sehingga tidak lengkap informasinya, tidak konsisten dengan penerimaan dana yang diterima atau diakui atas penjualan saham dan reksadana setelah 31 Desember 2019 bahkan sampai pemeriksaan saat 1 Maret 2021," jelasnya.

Dengan melihat metode perhitungan tersebut maka nilai saham dan reksadana yang masih ada dan dimiliki oleh PT Asabri mempunyai harga nilai saham dijual atau dilikuidasi. Artinya, walau pembeliannya tidak sesuai, tetapi masih milik dan menghasilkan dana kas bagi PT Asabri, meski jumlahnya tidak pasti karena tidak dinilai saat itu, dan harga berdistrosi.

"Jadi, akan lebih fair bila diperhitungkan juga dalam menghitung kerugian negara itu sendiri. Auditor tidak memperhitungkan itu, namun hanya efek surat berharga yang belum terjual kembali sebelum per 31 Desember 2019, tetapi memperhitungkan penerimaan setelah tanggal 31 Desember 2019," tambah hakim Mulyono.

Hal tersebut, menurut hakim Mulyono, menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat atau tidak nyata, tidak pasti, dan jumlah nilainya karena tidak dihitung secara nilai riil total jumlah pembelian yang menyimpang atau melanggar hukum.

"Yang mana tersebut masih ada di pembukuan PT Asabri, tidak dalam sengketa atau diblokir pihak berwenang, dan masih terdaftar di bursa efek. Bila itu sebagai alat, sarana, atau kejahatan perbuatan, bahkan yang menguntungkan atas investasi bermasalah tersebut, sebagai barang bukti, tidak diperlihatkan di dalam persidangan untuk meyakini secara nyata adanya efek saham tersebut sebagai alat atau sarana kejahatan dalam perkara ini," jelas hakim.

Ia menambahkan, kerugian negara tersebut tidak nyata dan tidak pasti karena tidak dinyatakan dalam aturan dasar atau dokumen relevan dan valid yang harus ada dulu yang menyatakan kekurangan dari uang surat berharga dan barang tersebut benar-benar terjadi adanya kerugian negara dan jumlahnya belum pasti.

"Oleh karena masih potensi, belum dihitung nilai keseluruhan efek pada waktu tertentu, masih tersimpan atau dimiliki dan diperhitungkan kerugian negara dengan tak berdasar perhitungan yang benar," tambah Mulyono.

Apalagi dalam Laporan Keuangan 2012-2018 yang telah diaudit kantor Akuntan Publik, PT ASABRI telah menyatakan keuntungan yang wajar dan semua hal materiil dengan total laba bersih setelah pajak sebesar sekitar Rp3 triliun yang di dalamnya ada komponen dari hasil pendapatan investasi saham reksadana.

"PT ASABRI telah menyetorkan dividen kepada pemerintah sejumlah Rp 80 miliar, termasuk dari transaksi yang dilakukan oleh terdakwa yang menguntungkan PT ASABRI, bukan merugikan. Bila transaksi terdakwa adalah perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara namun nyatanya pemerintah mendapat pendapatan tidak sah dari dividen dan telah masuk APBN. Negara seharusnya tidak mendapat pendapatan yang tidak sah dari perbuatan melawan hukum sehingga perlu diperiksa lebih dulu," ungkap hakim.

 

photo
Sembilan Tersangka Kasus Korupsi Asabrir - (Infografis Republika.co.id)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement