Kamis 05 Jan 2023 21:05 WIB

Beda Pendapat Elite NU dan Muhammadiyah Soal Sistem Pemilihan Caleg di Pemilu

Putusan MK akan menentukan sistem pemilihan caleg di Pemilu 2024.

Bilik dan kotak suara Pemilu 2019. Saat ini tengah menjadi polemik soal sistem pemilihan caleg di pemilu. (Ilustrasi)
Foto: VOA
Bilik dan kotak suara Pemilu 2019. Saat ini tengah menjadi polemik soal sistem pemilihan caleg di pemilu. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Nawir Arsyad Akbar

Sistem proporsional dalam pemilu saat ini tengah menjadi polemik menyusul prediksi dari Ketua KPU Hasyim Asy'ari yang memperkirakan Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima gugatan atas sistem proporsional terbuka yang selama ini diterapkan di Indonesia. Dua elite organisasi kemasyarakatan (ormas) terbesar Islam di Indonesia pun berbeda pendapat mengenai hal ini.

Baca Juga

Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf punya pendapat pribadi terkait perdebatan soal sistem pemilihan legislatif (pileg) yang tepat digunakan di Indonesia, antara proporsional terbuka atau tertutup. Menurutnya, sistem proporsional tertutup menjauhkan pemilih dengan calon anggota legislatif (caleg).

"Pendapat pribadi saya, harap dicatat, bahwa sistem proporsional tertutup itu secara teoretis mengurangi hak langsung dari pemilih. Karena tidak bisa memilih orang per orang di antara calon-calon yang ada," ungkap Gus Yahya saat konferensi pers usai menerima kunjungan pimpinan KPU RI di Kantor PBNU, Jakarta, Rabu (4/1/2023).

Kendati begitu, Gus Yahya pembuat undang-undang untuk menentukan sistem yang hendak digunakan. Yang penting, kata dia, sistem yang digunakan merupakan buah kesepakatan bersama.

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos partai politik, bukan caleg. Siapa calon yang akan menduduki kursi parlemen ditentukan sepenuhnya oleh partai.

Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos partai politik ataupun caleg yang diinginkan. Pemenang kursi ditentukan oleh perolehan suara tertinggi. Sistem proporsional terbuka ini berlaku sejak Pemilu 2009 hingga kini.

Penggunaan sistem proporsional terbuka itu, yang tertera dalam Pasal 168 UU Pemilu, kini sedang digugat ke MK. Para penggugat, yang dua di antaranya adalah kader PDIP dan kader Nasdem, meminta agar MK menyatakan sistem proporsional terbuka inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilu kembali menggunakan sistem proporsional tertutup.

Berbeda dengan Gus Yahya, Muhammadiyah mengusulkan agar sistem pemilihan caleg diganti menjadi proporsional tertutup, atau proporsional terbuka terbatas. Sebab, Muhammadiyah menilai sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini mengandung sejumlah masalah. 

"Usulan sesuai muktamar ada dua. Pertama kita mengusulkan agar sistem proporsional terbuka sekarang ini diganti dengan sistem tertutup.... Usulan kedua adalah terbuka terbatas," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti kepada wartawan di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (3/1/2023). 

Dalam sistem terbuka terbatas, kata Mu'ti, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun parpolnya. Caleg yang memenangkan kursi parlemen ditentukan oleh Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau harga kursi. 

BPP dihitung dengan cara membagi jumlah suara sah di dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut. Jika perolehan suara seorang caleg melampaui BPP, maka otomatis dia berhak atas satu kursi parlemen. 

Apabila tidak ada satu pun caleg yang perolehan suaranya melampaui BPP tapi suara partainya melampaui BPP, maka pemenang kursi ditentukan lewat nomor urut caleg di partainya. "Dengan sistem proporsional terbuka terbatas ini, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas," kata Mu'ti. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement