REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fergi Nadira, Fuji EP, Fitriyan Zamzami
Pada 31 Mei 2022 lalu, BTS, kerap didapuk sebagai boyband paling populer sejagad, diundang ke Gedung Putih di Amerika Serikat. Mereka ditemui oleh Presiden AS Joe Biden kala itu. Mereka kemudian bicara memohon dihentikannya serangan rasialis terhadap komunitas Asia di Amerika Serikat.
Pada saat bersamaan pernyataan itu dikeluarkan, mencuat tindakan-tindakan yang bernada Islamofobia di negara kampung halaman mereka. Hal itu beriringan dengan rencana pembangunan masjid di wilayah Daehyeon-dong di Daegu, Korea Selatan.
Masjid itu dirasa perlu oleh para mahasiswa asing yang berkuliah di Kyungpook University. Mereka berjumlah ratusan, tak muat lagi di rumah yang selama ini mereka gunakan untuk shalat berjamaah. Pada 2020, Pemerintah Distrik Buk telah mengizinkan pembangunan tersebut. Pada Desember tahun itu, peletakan batu pertama dilakukan.
Sejak itu, hampir setiap hari aksi unjuk rasa penolakan digelar warga sekitar. "Islam adalah agama kejahatan yang suka membunuh orang," tertulis di salah satu poster yang dibawa para penolak masjid. "Kami menolak tempat ini jadi pusat Muslim dan perumahan kumuh yang penuh kriminalitas," tertulis di salah satu poster yang dibawa pengunjuk rasa seperti dilaporkan the New York Times. "Suaranya bising, kami tak tahan dengan bau masakan asing yang mereka masak," ujar pengunjuk rasa lainnya mengeluh.
Gegara penolakan-penolakan itu, sejak 2021, pengadilan kemudian memerintahkan penghentian sementara pembangunan masjid itu. Tapi belakangan, pelecehan makin gencar.
Raphael Rashid, seorang wartawan lepas di Korea Selatan membagi di Twitter soal pesta babi panggang tak jauh dari lokasi pembangunan masjid pada Kamis (15/12/2022) lalu.
Sedangkan Muaz Razaq, mahasiswa asal Pakistan di Kyungpook University menunjukkan gambar tiga kepala babi diletakkan persis di depan situs pembangunan masjid. Ia menuturkan bahwa tindakan itu dilakukan pada 27 Oktober 2022 lalu, kemudian pada 2 dan 14 November, dan yang terkini pada 3 dan 6 Desember.
Para pelaku yang mengucapkan ujaran Islamofobia dan melakukan pelecehan-pelecehan itu kecil kemungkinan ditangkap. Pasalnya, sampai saat ini, Korea Selatan adalah satu-satunya negara tergolong maju yang tak memiliki satupun undang-undang antidiskriminasi.
Today in Daegu, South Korea, the third pig's head was placed outside our mosque by people who oppose the mosque. Previously they put the first Pig head on the 27th Oct & 2nd on the 14th Nov.
The role of law enforcement authorities is disappointing.#SouthKorea #Islamophobia pic.twitter.com/G7IDAc4S33
— Muaz Razaq (@MuazRazaq) December 6, 2022
Perjumpaan intens Korea Selatan dengan Muslim mulai terjadi saat mereka menyertakan pasukan dalam operasi militer yang dipimpin Amerika Serkat di Afghanistan pada 2001 dan di Irak pada 2003. Ribuan tentara, tenaga medis dan insinyur dikirimkan kala itu.
Namun tak hanya militer, ikut serta juga pada misionaris Kristen dalam rombongan ke Afghanistan dan Irak tersebut. Pada April 2004, seperti dilaporkan the Sydney Morning Herald, sebanyak tujuh misionaris Kristen Evangelis yang menyamar sebagai dokter dan perawat ditangkap di tepian Baghdad. Setelah diberi peringatan, mereka kemudian dilepaskan.
Namun pada Juni 2004, satu lagi bernama Kim Sun-il tertangkap oleh militan di Fallujah. Para militan menyanderanya dengan tebusan pembatalan pengiriman ribuan pasukan Korea Selatan ke Irak. Saat syarat itu ditolak, Kim Sun-il kemudian dibunuh.
Pada Juli 2007, giliran sebanyak 23 misionaris dari Gereja Presbetarian Saemmul ditangkap Taliban di Afghanistan, dua diantaranya dibunuh. Taliban kala itu meminta tebusan ditepatinya janji penarikan 200 pasukan Korea Selatan dari Afghanistan. Setelah janji itu ditepati, sisa tawanan yang masih hidup dibebaskan.
The pork BBQ party has started in front of the mosque construction site in Daegu's Daehyeon-dong. Pig heads are on display, and a whole pork roast is being cooked. The meat is being carved and distributed to locals for lunch. pic.twitter.com/DmUP7xTWEM
— Raphael Rashid (@koryodynasty) December 15, 2022
Choe Sang-Hun menulis untuk the New York Times bahwa sejak itu diskriminasi terhadap Muslim di Korea Selatan menguat. Titik didih lainnya terjadi saat 550 pencari suaka dari Yaman terdampar di Pulau Jeju pada 2018. Aksi-aksi menolak imigran marak di Korea Selatan saat itu.
"Aturan jilbab semata sudah cukup jadi alasan mereka tak boleh menginjakkan kaki ke negara kami," kata Lee Hyung-oh, pimpinan kelompok penolak pengungsi Refugee Out. "Mereka teroris yang menyamar sebagai pengungsi," kata para penolak seperti dilansir Korea Times. Meski Korea adalah negara penendatangan Konfensi Pengungsi PBB 1951, sebanyak 700 ribu warga meneken petisi menolak para pengungsi.
Menurut profesor antropologi dari Universitas Hanyang, Lee Hee-soo, gambaran soal Muslim di media barat jadi salah satu sebab utama diskriminasi tersebut. "Dibandingkan negara-negara OECD lainnya, Korea memiliki level tinggi Islamofobia. Artinya, banyak orang Korea memendam sikap bermusuhan, ketakutan tak beralasan, dan syakwasangka terhadap Muslim," ujarnya dikutip Korea Times.
Namun di lain hal, dalam masyarakat Korea Selatan juga sudah mengakar sejenis kasta berdasarkan ras. Hyein Amber Kim, seorang profesor linguistik di State University of New York membaginya menjadi keturunan Korea pada tingkat paling atas. Kemudian "Korea Kehormatan" yang terdiri dari imigran dari Eropa Timur, warga Asia Tengah yang berkulit cerah, blasteran Korea-Kaukasia, dan warga non-Korea berkulit terang. Di paling bawah, dikelompokkan semua yang lebih gelap seperti orang Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, keturunan Afrika, bahkan warga Korea berkulit gelap.
Pada 2020, merujuk Korea Herald, sebesar 44,7 persen warga asing menyatakan bahwa ada diskriminasi berdasarkan ras di Korea. Sedangkan 47,7 persen lainnya menyatakan ada diskriminasi berdasarkan etnis di Korea.
Kim Seok-ho, profesor sosiologi dari Universitas Nasional Seoul dalam laporannya pada 2019 lalu menemukan bahwa sikap rasisme dan diskriminasi itu belum berubah sepanjang 10 tahun terakhir. Warga Korea cenderung hanya menyambut hangat pendatang dari Jepang, Eropa, dan Eropa sementara bersikap negatif terhadap pendatang dari wilayah dunia lainnya.
Sebagian berdalih, sikap itu juga dipicu konsep keutuhan dan kebelangsungan keturunan Korea sehubungan kerapnya wilayah itu didatangi penjajah dari wilayah Asia Timur lainnya di masa lalu. Bagaimanapun, kasus di Daegu menunjukkan bahwa diskriminasi itu, utamanya terhadap umat Islam hadir dan bernapas di Korea. BTS barangkali perlu bicara soal itu dulu mengingat tak sedikit Army, alias penggemar mereka adalah Muslim; mengingat uang umat Islam juga disasar pemerintah dan swasta di Korea Selatan melalui rupa-rupa kampanye wisata halal belakangan.