Senin 19 Dec 2022 19:53 WIB

Hakim Yustisial Edy Wibowo Diduga Terima Suap Rp 3,7 Miliar

Hakim Yustisial Edy Wibowo diduga menerima suap dalam penanganan perkara di MA.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Ratna Puspita
Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) bersama Direktur Penindakan KPK Asep Guntur (kiri) saat konferensi pers pengumuman penahanan tersangka Hakim Yustisial Edy Wibowo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (19/12/2022).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) bersama Direktur Penindakan KPK Asep Guntur (kiri) saat konferensi pers pengumuman penahanan tersangka Hakim Yustisial Edy Wibowo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (19/12/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan tersangka Hakim Yustisial, Edy Wibowo (EW). Dia diduga menerima suap mencapai Rp 3,7 miliar dalam penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

"Tim penyidik saat ini menahan tersangka EW," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (19/12/2022).

Baca Juga

Firli mengatakan, Edy bakal ditahan selama 20 hari kedepan, mulai tanggal 19 Desember 2022 hingga 7 Januari 2023. Dia akan mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) KPK pada Gedung Merah Putih.

Kasus ini berawal dari gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Negeri Makasar yang diajukan oleh PT Mulya Husada Jaya terhadap Yayasan Rumah Sakit SKM. Majelis hakim kemudian memutuskan bahwa Yayasan Rumah Sakit SKM dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.

Atas putusan tersebut, pihak Yayasan Rumah Sakit SKM lantas mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. "Salah satu isi permohonannya agar putusan di tingkat pertama ditolak dan memutus Yayasan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit," kata Firli.

Dia melanjutkan, agar proses kasasi ini dapat dikabulkan, diduga Ketua Yayasan Rumah Sakit SKM, Wahyudi Hardi melakukan pendekatan dan komunikasi intens dengan PNS pada MA, yakni Muhajir Habibie (MH) dan Albasri (AB) sekitar Agustus 2022. Wahyudi meminta Muhajir dan Albasri untuk membantu dan memonitor serta mengawal proses kasasi tersebut yang diduga disertai adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang.

"Sebagai tanda jadi kesepakatan, diduga ada pemberian sejumlah uang secara bertahap hingga mencapai sekitar Rp 3,7 miliar kepada EW yang menjabat Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti MA yang diterima melalui MH dan AB sebagai perwakilan sekaligus orang kepercayaannya," kata Firli.

Dia menambahkan, serah terima uang itu diduga dilakukan selama proses kasasi masih berlangsung di MA. Pemberian uang ini diduga untuk mempengaruhi isi putusan dan setelah uang diberikan, maka putusan kasasi yang diinginkan Wahyudi Hardi dikabulkan, yakni isi putusan menyatakan Rumah Sakit SKM tidak dinyatakan pailit.

Atas perbuatannya, Edy bersama Muhajir Habibie dan Albasari disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a dan b Jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Kasus yang menjerat Edy Wibowo merupakan pengembangan dari penangkapan Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati pada September 2022 lalu. Sudrajad diduga menerima uang suap sebesar 202 ribu dolar Singapura atau setara Rp 2,2 miliar untuk memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Semarang. Gugatan ini diajukan oleh dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto.

Selain Sudrajad, KPK juga menetapkan sembilan tersangka lainnya dalam kasus ini. Lima diantaranya merupakan pejabat dan staf di MA, yakni Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP); dua orang PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH); serta dua PNS MA, yaitu Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB).

Kemudian, empat tersangka lainnya, yakni dua pengacara Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES); serta dua pihak swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID), Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS). Tak sampai di situ, KPK terus melakukan pengembangan penyidikan yang melibatkan pejabat di MA. Setelah menahan Sudrajad, KPK juga menetapkan Hakim Agung, Gazalba Saleh sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA pada awal Desember 2022.

Gazalba diduga melakukan pengondisian terhadap putusan kasasi Budiman Gandi Suparman selaku pengurus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana yang berkaitan dengan konflik di internal koperasi tersebut. Saat itu, Gazalba menjadi salah satu anggota majelis hakim yang ditunjuk untuk memutus perkara terdakwa Budiman. Dalam putusannya, Budiman dihukum pidana selama lima tahun.

Putusan ini didasari dengan adanya kesepakatan pemberian uang sebesar Rp2,2 miliar atau 202 ribu dolar Singapura. Diduga pemberian itu dilakukan pengacara koperasi Intidana, Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES) dengan menggunakan uang yang berasal dari Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Heryanto Tanaka. 

YP dan ES menyerahkan uang pengurusan perkara di MA tersebut secara tunai sejumlah sekitar 202 ribu dolar Singapura melalui PNS pada Kepaniteraan MA, Desy Yustria. KPK pun masih mendalami soal pembagian uang tersebut.

Selain Gazalba, dalam kasus ini KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya. Mereka adalah Hakim Yustisial sekaligus Panitera Pengganti pada Kamar Pidana MA RI dan asisten Gazalba, Prasetio Nugroho (PN); dan staf Gazalba, Redhy Novarisza (RN). Dengan demikian, jumlah tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA sebanyak 14 orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement